Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan total outstanding pinjaman online hingga September 2025 telah mencapai Rp90,99 triliun, tumbuh lebih dari 20 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Di saat yang sama, tingkat wanprestasi lebih dari 90 hari (TWP90) berada di kisaran 2,8 persen. Angka ini masih berada di bawah ambang batas regulator, namun jumlah debitur yang gagal bayar terus bertambah.
DetikFinance dalam laporannya mencatat, kenaikan utang pinjol terjadi ketika sebagian besar pendapatan masyarakat habis untuk membayar cicilan dan kebutuhan pokok. “Gaji habis buat bayar utang,” tulis Detik, menggambarkan kondisi rumah tangga yang makin sempit ruang fiskalnya. Situasi ini diperkuat oleh laporan Metro TV yang menyebut pelemahan daya beli mendorong masyarakat berutang untuk menutup kebutuhan sehari-hari, bukan untuk kegiatan produktif.
Tekanan tersebut juga tercermin dari munculnya sejumlah kasus gagal bayar di industri P2P lending. Dana Syariah Indonesia (DSI), salah satu platform pembiayaan berbasis syariah, mengalami kesulitan likuiditas akibat pembiayaan bermasalah yang nilainya dilaporkan mencapai lebih dari Rp1 triliun. Antara News melaporkan, paguyuban lender DSI meminta pertanggungjawaban manajemen atas keterlambatan pembayaran dana investor. Sementara Kompas menyebut cicilan pengembalian dana yang dilakukan perusahaan nilainya masih sangat kecil dibanding total kewajiban.
Kasus serupa juga membayangi platform lain seperti Investree. Tempo sebelumnya mencatat OJK menerima puluhan laporan dari lender terkait keterlambatan dan ketidakpastian pengembalian dana di platform tersebut. Tingkat wanprestasi Investree bahkan sempat menembus dua digit, jauh di atas batas aman yang ditetapkan regulator. OJK kemudian menempatkan perusahaan dalam status pengawasan intensif.
Di luar pinjol, tekanan daya beli juga mulai terasa di sektor pembiayaan konsumtif dan UMKM. Kontan melaporkan rasio kredit bermasalah (NPL) kredit pemilikan rumah (KPR) meningkat pada paruh kedua 2025. Sementara Databoks Katadata mencatat rasio NPL UMKM masih bertahan di atas 4 persen, hampir dua kali lipat NPL perbankan secara agregat.
Ekonom menilai kondisi ini tidak lepas dari perubahan struktur ekonomi pasca-pandemi. Harga kebutuhan pokok naik dan cenderung bertahan di level baru, sementara kenaikan upah tidak cukup cepat mengejar biaya hidup. Di sisi lain, utang rumah tangga menumpuk akibat penggunaan pinjaman jangka pendek untuk konsumsi. BBC Indonesia menyebut fenomena ini sebagai “lubang tutup lubang”, ketika masyarakat mengambil utang baru untuk menutup kewajiban lama.
OJK memang mencatat stabilitas sektor keuangan secara umum masih terjaga. Rasio kredit bermasalah perbankan nasional berada di kisaran 2,2 persen, jauh di bawah ambang krisis. Namun stabilitas tersebut lebih mencerminkan kondisi sistem keuangan, bukan situasi ekonomi rumah tangga. “Yang aman adalah sistemnya, bukan berarti semua debiturnya aman,” kata seorang pengamat perbankan kepada Tempo dalam laporan terpisah.
Dengan kondisi tersebut, para analis memperkirakan 2026 bukan menjadi titik balik pemulihan cepat, melainkan fase lanjutan dari tekanan ekonomi mikro. Selama daya beli belum pulih dan utang konsumtif tetap menjadi penopang hidup sebagian masyarakat, risiko gagal bayar akan tetap tinggi. Gelombang ini tidak muncul karena ketidakpatuhan debitur, melainkan karena keterbatasan kemampuan bayar.
Dalam konteks itu, gagal bayar pada 2026 diperkirakan bukan berbentuk krisis mendadak, melainkan tekanan berkepanjangan yang terus menggerus kelompok ekonomi paling rentan. Sebuah krisis sunyi, yang berlangsung pelan, tetapi dampaknya nyata di dompet masyarakat.
(Red/Vendetta)


