SHARE YA KAK!, Jakarta - Setiap pagi, ribuan jaket hijau dan kuning membanjiri jalanan kota. Dari Jakarta hingga Makassar, deru motor berlogo Grab, Gojek, dan Maxim menjadi irama baru kehidupan rakyat kecil. Di balik helm dan masker, tersimpan kisah perjuangan mereka yang mencoba bertahan di tengah kerasnya hidup. Bagi banyak orang, menjadi driver ojek online bukan cita-cita, melainkan pilihan terakhir ketika pintu pekerjaan lain tertutup rapat.
Data BPJS Ketenagakerjaan mencatat ada sekitar dua juta driver ojek online yang terdaftar di Indonesia. Namun berbagai sumber lain menyebut jumlahnya bisa mencapai lebih dari tujuh juta orang pada tahun 2025. Angka itu melonjak tajam dibanding beberapa tahun lalu, menandakan pergeseran besar dalam struktur tenaga kerja nasional: semakin banyak warga beralih ke sektor informal digital karena lapangan kerja formal semakin langka.
Fenomena ini bukan semata soal pilihan gaya hidup. Ini adalah cermin dari realitas ekonomi yang kian berat. Setelah pandemi, banyak perusahaan memangkas tenaga kerja, sementara perekrutan baru berjalan lambat. Otomatisasi industri dan efisiensi besar-besaran di sektor manufaktur hingga startup mempersempit kesempatan kerja. Akibatnya, ribuan orang yang dulunya bekerja di kantor, toko, hingga pabrik, kini mengandalkan motor dan aplikasi untuk menafkahi keluarga.
Yang paling menyedihkan, gelombang baru pengemudi ojol kini datang dari berbagai lapisan usia dan latar belakang. Mulai dari anak muda yang baru lulus sekolah atau sarjana yang sulit mencari pekerjaan, hingga para orang tua yang sudah pensiun atau usahanya bangkrut akibat daya beli masyarakat yang ambruk sejak pandemi Covid-19 dan hantaman inflasi beberapa tahun terakhir.
“Lulus kuliah sudah setahun, tapi belum ada panggilan kerja. Akhirnya saya ikut narik juga,” kata Dimas (24), seorang lulusan ekonomi dari Bekasi yang kini menjadi driver Gojek. “Daripada nganggur di rumah, setidaknya bisa bantu orang tua bayar listrik dan makan.”
Cerita berbeda datang dari Suparno (53), mantan pengusaha kecil yang terpaksa menjual peralatan tokonya setelah omsetnya jatuh sejak 2021. Kini, ia memakai motornya untuk menjadi driver Maxim. “Waktu itu saya pikir, mau kerja apa lagi? Usia sudah kepala lima, usaha bangkrut, ya akhirnya ambil jalan ini. Asal bisa makan, sudah syukur,” ujarnya pelan.
Secara statistik, tingkat pengangguran terbuka memang terlihat menurun. Namun di balik angka itu, tersimpan kenyataan bahwa jutaan orang kini bekerja tanpa kepastian. Mereka masuk ke sektor informal, hidup dari pendapatan harian, dan tidak memiliki jaminan sosial yang memadai. Laporan resmi DPR RI pada Mei 2025 menulis, “Ojek online menjadi katup penyelamat ekonomi bagi rakyat kecil, namun sekaligus menunjukkan lemahnya struktur ketenagakerjaan formal di Indonesia.”
Sebagai bagian dari ekonomi gig, pekerjaan ojol menawarkan fleksibilitas tetapi tanpa perlindungan. Tidak ada kontrak kerja tetap, tidak ada upah minimum, dan seluruh risiko ditanggung sendiri. Pendapatan pun semakin menurun karena jumlah pengemudi yang terus bertambah tidak sebanding dengan jumlah pesanan. Banyak yang kini harus bekerja 10 hingga 12 jam per hari hanya untuk membawa pulang uang cukup untuk makan dan bensin. “Dulu bisa dapat Rp200 ribu sehari, sekarang Rp120 ribu pun susah,” kata Rudi (38), driver di Tangerang yang sudah empat tahun menekuni profesi ini.
Kondisi itu memicu keresahan di lapangan. Pada Mei 2025, sekitar 500 ribu driver ojek dan taksi online menggelar aksi di Jakarta menuntut keadilan tarif, potongan aplikasi yang wajar, serta perlindungan kerja yang lebih manusiawi. Namun, suara mereka sering tak terdengar oleh pemerintah maupun perusahaan aplikasi yang masih menganggap mereka sekadar “mitra”, bukan pekerja yang berhak atas perlindungan dan kepastian.
Ledakan jumlah driver ojek online sesungguhnya adalah potret nyata ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja. Ia bukan tanda kemajuan digital, melainkan bukti bahwa ekonomi rakyat makin terdesak dan daya serap tenaga kerja formal melemah. Sektor ini memang menjadi penyelamat bagi jutaan orang, tetapi tanpa kebijakan yang berpihak, ia justru bisa berubah menjadi jebakan kemiskinan baru yang tersembunyi di balik semangat “kerja mandiri”.
Di tengah panas dan bising jalan raya, para pengemudi itu tetap melaju mengejar order, menantang nasib. Mereka adalah wajah dari rakyat kecil yang tidak menyerah. Tapi perjuangan mereka tak seharusnya dibiarkan sendirian. Pemerintah mesti membuka mata: meningkatnya jumlah driver ojek online adalah alarm keras bagi kondisi ekonomi nasional. Sudah saatnya negara benar-benar hadir bukan sekadar mengandalkan ekonomi digital dengan memperbaiki iklim usaha, menekan inflasi, dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja yang layak. Karena di negeri yang adil dan sejahtera, rakyat seharusnya tidak perlu berjuang sendiri di atas roda demi sesuap harapan.
(Red/Vendetta)