Jasa Website Berita Online

Vonis Dagelan? Tak Nikmati Korupsi, Tak Ada Niat Jahat, Tapi Tetap Masuk Penjara

author photo Sabtu, Juli 19, 2025



SHARE YA KAK!, Jakarta — Mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong dijatuhi hukuman 4,5 tahun penjara dan denda Rp750 juta subsider enam bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Ia dinyatakan terbukti bersalah dalam perkara korupsi izin impor gula periode 2015–2016. Namun, yang menyita perhatian publik bukan hanya vonisnya, melainkan pernyataan hakim bahwa Tom Lembong tidak menikmati hasil korupsi tersebut.

Dalam sidang putusan yang digelar pada 18 Juli 2025, hakim menegaskan bahwa Tom Lembong tidak menerima uang atau keuntungan pribadi dalam perkara ini. Ia juga disebut tidak memiliki niat jahat (mens rea). Meski demikian, ia tetap dinyatakan bersalah karena melanggar prosedur dan menyalahgunakan kewenangan sebagai pejabat negara. Uang pengganti atas kerugian negara sebesar Rp194 miliar pun dibebankan kepada pihak swasta yang disebut sebagai pihak yang menikmati keuntungan dari skema impor tersebut. Pernyataan itu disampaikan secara eksplisit dalam laporan Kompas dan CNBC Indonesia (18/7/2025).

Kasus ini berawal dari kebijakan pemerintah membuka keran impor gula tahun 2015 untuk memenuhi kebutuhan nasional. Keputusan tersebut tidak diambil oleh Tom Lembong sendiri, melainkan hasil rapat koordinasi antarkementerian yang melibatkan Kementerian Perdagangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, dan kementerian teknis lainnya, dengan arahan dan persetujuan Presiden Joko Widodo. Hal itu ditegaskan dalam pernyataan kuasa hukum Tom Lembong yang menyebut bahwa kebijakan impor gula telah diafirmasi Presiden Jokowi, seperti diberitakan oleh CNN Indonesia dan Detik.

Meski demikian, Kejaksaan Agung menemukan bahwa dalam pelaksanaannya, proses penerbitan izin impor gula yang ditandatangani oleh Tom Lembong tidak memenuhi prosedur hukum yang lengkap. Salah satunya adalah penunjukan perusahaan swasta sebagai importir gula rafinasi, padahal sesuai ketentuan, tugas itu semestinya dilakukan oleh BUMN, yakni PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI). Prosedur ini dinilai janggal dan menjadi salah satu poin utama yang dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang. Hal tersebut dilansir dalam laporan Detik dan Kompas yang merujuk pada konstruksi dakwaan Kejaksaan Agung.

Hakim mempertimbangkan beberapa faktor yang memberatkan vonis terhadap Tom Lembong, antara lain kebijakan impor yang ia jalankan lebih berpihak pada logika ekonomi pasar bebas dan kapitalistik, bukan pada sistem ekonomi Pancasila yang menjamin keadilan sosial. Ia juga dianggap gagal mengendalikan harga gula yang tetap tinggi di pasaran serta mengabaikan asas kepastian hukum dalam proses distribusi gula kristal putih kepada masyarakat. Seluruh poin memberatkan ini dijelaskan dalam laporan Kompas dan Tempo.

Namun demikian, vonis Tom Lembong lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut hukuman tujuh tahun penjara. Hakim menyebut ada sejumlah hal yang meringankan, seperti sikap kooperatif terdakwa selama proses persidangan, belum pernah dipidana sebelumnya, serta fakta bahwa uang pengganti kerugian negara telah dikembalikan oleh pihak swasta yang menerima keuntungan dari impor gula tersebut.

Kasus ini menyisakan ironi di mata publik. Banyak pihak mempertanyakan logika hukum yang berlaku: bagaimana bisa seseorang dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi, sementara ia tidak menerima uang, tidak berniat korupsi, dan hanya menjalankan kebijakan pemerintah pusat yang disetujui langsung oleh presiden? Seperti dilaporkan oleh Tempo dan CNN Indonesia, vonis ini menimbulkan perdebatan mengenai tanggung jawab pejabat publik dan batas antara kelalaian administratif dengan tindak pidana korupsi.

Dalam sistem hukum Indonesia, pelaksana kebijakan tetap dapat dimintai pertanggungjawaban pidana jika kebijakan yang dijalankannya tidak sesuai dengan asas transparansi, akuntabilitas, dan prosedur hukum yang berlaku. Presiden sendiri sebagai kepala pemerintahan memiliki kekebalan hukum selama menjabat sebagaimana diatur dalam Pasal 7B UUD 1945. Karena itu, tanggung jawab pelaksanaan kebijakan tetap dibebankan pada menteri sebagai pejabat teknis yang menandatangani izin.

Putusan ini memperlihatkan bahwa dalam sistem hukum yang berlaku, seorang pejabat dapat dihukum karena kesalahan administratif yang berdampak besar, meskipun tidak ada motif pribadi atau aliran dana yang menguntungkannya. Dalam kasus Tom Lembong, kebijakan impor gula memang disepakati secara kolektif, namun pelaksanaannya dinilai cacat hukum dan merugikan negara, sehingga ia tetap dijatuhi hukuman penjara.

Seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Kompas, dan Tempo, Tom Lembong sendiri menyatakan menerima putusan tersebut dengan berat hati, sambil menegaskan bahwa dirinya tetap tidak merasa bersalah secara moral maupun niat. Ia menyebut bahwa dirinya telah menjalankan tugas berdasarkan kebutuhan negara saat itu, dan semua kebijakan telah melalui rapat terbatas serta persetujuan Presiden.

(Red/Vendetta)

Next article Next Post
Previous article Previous Post

Advertisement

Jasa Pembuatan Website Berita Online

Advertisement

Jasa Pembuatan Website Berita Online