SHARE YA KAK!, Jakarta — Pemerintah Amerika Serikat akhirnya menetapkan tarif bea masuk sebesar 19 persen untuk seluruh produk asal Indonesia yang masuk ke pasar mereka. Keputusan ini diumumkan langsung oleh Presiden AS Donald Trump dalam konferensi pers di Washington pada Selasa, 16 Juli 2025, setelah melalui serangkaian negosiasi bilateral dengan pemerintah Indonesia.
Tarif 19 persen itu dinilai lebih rendah dibanding ancaman sebelumnya yang mencapai 32 hingga 35 persen, namun keputusan ini bukan tanpa syarat. Dalam kesepakatan yang diklaim sebagai "win-win solution" oleh kedua pemerintah, Indonesia harus memberikan serangkaian konsesi besar yang dinilai tak seimbang oleh sejumlah ekonom dan pengamat perdagangan internasional.
Salah satu poin utama dari perjanjian tersebut adalah pembebasan tarif impor bagi seluruh produk asal Amerika Serikat yang masuk ke pasar Indonesia. Artinya, produk pertanian, energi, manufaktur, teknologi, hingga peralatan militer buatan AS akan bebas dari bea masuk dan hambatan non-tarif lainnya di pasar domestik. "Ekspor Amerika ke Indonesia kini akan bebas dari segala tarif dan pembatasan. Ini kemenangan besar bagi produk kami," ujar Presiden Trump, dikutip dari BBC Indonesia (16/7/2025).
Namun di sisi lain, Indonesia diminta untuk melakukan pembelian besar-besaran terhadap produk dan komoditas strategis Amerika. Berdasarkan dokumen kesepakatan yang dilansir sejumlah media, pemerintah Indonesia menyanggupi pembelian energi dari Amerika senilai USD 15 miliar, pembelian produk pertanian senilai USD 4,5 miliar, serta pembelian 50 unit pesawat Boeing, mayoritas merupakan tipe Boeing 777.
"Ini bukan sekadar soal tarif, tetapi komitmen dagang jangka panjang yang sangat besar nilainya. Bisa dibilang, kita mendapatkan diskon tarif, tapi harus belanja besar ke Amerika," kata Bhima Yudhistira, Direktur CELIOS, dikutip dari Kompas.id (16/7/2025). Ia menilai kesepakatan itu berpotensi memperlemah posisi neraca perdagangan Indonesia dalam beberapa tahun ke depan, terutama karena ekspor ke AS tetap dikenai tarif, sedangkan impor dari AS justru dibebaskan.
Sejumlah analis memperingatkan bahwa konsekuensi dari kebijakan ini bisa berdampak luas terhadap struktur perdagangan dan fiskal nasional. Dengan pembebasan bea masuk untuk produk AS, negara berpotensi kehilangan penerimaan pajak impor, sekaligus membuka potensi serbuan produk asing di pasar lokal. “Jika produk pertanian dan teknologi AS masuk bebas tanpa bea, petani dan pelaku UMKM kita bisa tertekan,” kata Destry Damayanti, pengamat perdagangan internasional dalam wawancara dengan Tempo.
Dari sisi pemerintah, narasi yang dibangun lebih menekankan pada keberhasilan diplomasi untuk menghindari tarif tinggi yang sebelumnya diumumkan oleh pemerintahan Trump. “Kita berhasil menurunkan tarif menjadi 19 persen, ini yang terendah di antara negara-negara Asia lainnya,” ujar Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dalam konferensi pers di Istana Negara, seperti dilansir Antara (16/7/2025). Ia menambahkan bahwa kesepakatan ini memberi “kepastian pasar ekspor” bagi pelaku industri nasional.
Namun kritik tetap mengemuka, terutama soal transparansi dan urgensi kesepakatan tersebut. Beberapa anggota DPR mempertanyakan alasan pemerintah menerima ketentuan pembelian pesawat Boeing dalam jumlah besar di tengah kondisi APBN yang tengah defisit. Hingga semester pertama 2025, pemerintah mencatat defisit anggaran sebesar Rp204,2 triliun atau 0,84 persen dari PDB. "Ini seperti kita dipaksa belanja sambil pinjam uang," ujar anggota Komisi VI DPR RI, Grace Natalie, dalam rapat kerja bersama Kementerian Perdagangan.
Kritik serupa juga datang dari sektor industri dalam negeri. Pelaku usaha tekstil dan alas kaki, dua komoditas ekspor utama ke AS menyatakan kekhawatiran mereka terhadap daya saing produk lokal yang kini masih tetap dikenai tarif meskipun lebih rendah. “Kami bersaing ketat dengan Vietnam dan Bangladesh. Kalau tarif ekspor masih 19 persen, produk kita bisa kalah harga,” ujar Ketua API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia), Jemmy Kartiwa, dalam wawancara dengan CNBC Indonesia.
Sementara itu, sektor penerbangan menanggapi pembelian pesawat Boeing dengan lebih berhati-hati. Sejumlah analis memperkirakan pembelian 50 unit pesawat tersebut akan membebani neraca pembayaran, terlebih jika pesawat-pesawat itu belum tentu dibutuhkan oleh maskapai nasional yang saat ini masih melakukan efisiensi operasional pasca-pandemi dan akibat pelemahan daya beli masyarakat.
“Pembelian ini lebih berbau diplomasi ketimbang kebutuhan industri. Risiko idle asset atau utang leasing bisa membayangi,” ujar Alvin Lie, pengamat penerbangan dan mantan anggota Ombudsman RI, seperti dikutip dari CNN Indonesia (16/7/2025).
Dalam kesepakatan yang tampak formal ini, yang dipertaruhkan bukan hanya angka tarif, tapi juga arah kebijakan perdagangan jangka panjang Indonesia. Tarif mungkin turun, tapi akses yang dibuka terlalu lebar bisa berarti hilangnya kontrol negara terhadap pasar dalam negeri.
Kesepakatan ini mungkin telah meredakan tekanan tarif dari AS, tapi menyisakan pertanyaan besar: apakah diskon itu setara dengan harga yang harus dibayar?
(Red/Vendetta)