SHARE YA KAK!, Jakarta — Di tengah tekanan ekonomi yang makin menghimpit rakyat, pemerintah justru membuka front baru dalam strategi penerimaan negara: media sosial dan e-commerce. Pada Juli 2025, Kementerian Keuangan secara terbuka mewacanakan pengenaan pajak dari aktivitas media sosial. Sementara itu, penjual online di marketplace seperti Tokopedia, Shopee, dan TikTok Shop resmi dikenai potongan PPh Pasal 22 sebesar 0,5% dari omzet bruto, bagi yang memiliki penghasilan tahunan antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar.
“Ini bukan pajak baru, hanya perubahan cara pemungutan agar lebih efektif,” ujar Direktur Jenderal Pajak dalam siaran pers Kemenkeu.
Namun di balik narasi efektivitas itu, banyak pelaku UMKM digital justru merasa terbebani. Potongan dilakukan otomatis saat transaksi, dan potensi beban biaya ini sering kali dialihkan ke konsumen. Kreator konten juga kini berada di bawah pengawasan ketat otoritas pajak. Meski tidak ada skema khusus untuk influencer, mereka diwajibkan melaporkan penghasilan dan membayar pajak sesuai aturan.
“Kami sedang mengembangkan analitik data digital untuk menggali potensi pajak dari media sosial,” kata Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu, seperti dikutip Kumparan (15/7/2025).
Namun ketika rakyat kecil di dunia digital mulai dihitung dan dipotong, di sisi lain negara justru memberikan pembebasan pajak (tax holiday) hingga 25 tahun kepada perusahaan-perusahaan tambang besar. Insentif ini diberikan kepada industri pionir dengan investasi besar, seperti smelter nikel, dan berlangsung puluhan tahun tanpa kontribusi pajak penghasilan.
Bloomberg Technoz mencatat bahwa tax holiday ini diperpanjang hingga akhir 2025. Bahkan, beberapa perusahaan tambang di Sulawesi dan Kalimantan Timur telah menikmati insentif ini sejak 2018. Padahal menurut data pemerintah daerah, cadangan nikel nasional hanya cukup untuk 10–15 tahun ke depan.
“Kami ini seperti korban dua kali. Alam kami rusak, tambangnya habis, tapi kami tidak dapat apa-apa karena pajaknya ditiadakan,” kata Gubernur Sulawesi Tengah, seperti dilansir Disway (7/7/2025).
Kritik serupa disampaikan oleh anggota Komisi XI DPR yang mempertanyakan insentif fiskal yang justru menyasar korporasi tambang besar. Laporan KabarBursa.com menyoroti bahwa pemerintah tampaknya lebih fokus pada angka investasi jangka pendek tanpa memperhitungkan dampak sosial-ekologis jangka panjang.
Ir. Termul Wowik, pengamat kebijakan fiskal dan lingkungan dari Lembaga Independen, menyatakan bahwa arah kebijakan fiskal Indonesia kini kehilangan keadilan.
“Pemerintah seperti kehabisan akal, dan malah memilih yang paling gampang ditarik: rakyat biasa. Yang kuat diberi karpet merah gratis pula, yang kecil terus diakali biar abis keringatnya. Di mana keberpihakan negara?” ujarnya saat diwawancarai Senin (15/7).
Ia menyebutkan bahwa semestinya pemerintah justru memprioritaskan penerimaan negara dari sumber yang lebih besar dan merusak, seperti perusahaan tambang, industri ekstraktif, hingga pelaku pembalakan liar. Bahkan menurutnya, bila UU Perampasan Aset Koruptor disahkan, dan royalti tambang diperketat, potensi penerimaan negara bisa melonjak tanpa harus memburu penjual keripik online atau konten kreator rumahan.
Sementara itu, pemerintah menyatakan bahwa mulai 2025, akan diterapkan Global Minimum Tax (GMT) sebesar 15%, sesuai aturan OECD. Namun, mekanisme ini belum sepenuhnya menjawab ketimpangan karena hanya berlaku bila negara asal perusahaan induk mengenakan “top-up tax”. Artinya, bila Indonesia tetap memberi tax holiday, negara lain yang akan menagih selisihnya—bukan Indonesia sendiri yang mendapat manfaatnya.
Di tengah semua ini, rakyat kecil, UMKM digital, hingga influencer lokal justru jadi target utama perluasan basis pajak. Negara tampak tegas pada yang mudah ditagih, tapi lemah terhadap yang kuat dan merusak.
“Pajak bukan sekadar pemasukan negara. Ia adalah wajah dari keberpihakan. Dan saat ini, wajah itu tampaknya berpaling dari rakyat kecil,” pungkas Termul Wowik.
(Red/Vendetta)