SHARE YA KAK!, Jakarta — Proses hukum terhadap mantan Menteri Perdagangan Thomas Lembong (Tom Lembong) memunculkan pertanyaan serius publik: mengapa hanya dia yang diproses hukum, padahal impor gula yang ia lakukan disebut-sebut sesuai arahan Presiden dan prosedur resmi melalui rapat kabinet? Ironisnya, lima menteri perdagangan lain di era Presiden Joko Widodo juga melakukan kebijakan impor gula, bahkan dengan nilai yang jauh lebih besar, namun hingga kini tidak tersentuh proses hukum serupa.
Merujuk data Kompas (15 Juli 2024) dan CNBC Indonesia (18 Juli 2024), inilah daftar enam menteri perdagangan di era Presiden Jokowi berikut nilai impor gulanya:
1. Rachmat Gobel (2014–2015)
Pada masa jabatannya, realisasi impor gula mencapai 792.000 ton, dengan nilai sekitar Rp6,4 triliun.
2. Thomas Lembong (2015–2016)
Di masa Lembong, pemerintah mengimpor gula sebanyak 678.000 ton. Nilai impornya mencapai sekitar Rp5,5 triliun. Impor ini dilakukan melalui rapat terbatas kabinet dan mendapatkan persetujuan lintas kementerian, termasuk Menko Perekonomian dan Presiden.
3. Enggartiasto Lukita (2016–2019)
Pada masa ini terjadi impor gula sangat besar, yaitu mencapai 3,4 juta ton, senilai lebih dari Rp29 triliun. Enggar bahkan menerbitkan puluhan surat penugasan impor untuk sektor industri dan konsumsi. Namun, ia tak dijerat hukum atas kebijakan tersebut.
4. Agus Suparmanto (2019–2020)
Agus menandatangani kuota impor gula sebanyak 688.000 ton, dengan nilai sekitar Rp6,1 triliun.
5. Muhammad Lutfi (2020–2022)
Selama menjabat, ia menyetujui impor gula sekitar 896.000 ton, senilai hampir Rp7,8 triliun.
6. Zulkifli Hasan (2022–sekarang)
Di bawah kendali Zulkifli, hingga 2024, total impor gula tercatat mencapai 1,2 juta ton, dengan nilai melampaui Rp10 triliun.
Dari data tersebut, total impor gula yang dilakukan oleh enam menteri di era Jokowi mencapai lebih dari 7,65 juta ton, senilai hampir Rp65 triliun. Namun, hanya Tom Lembong yang dijadikan tersangka dan kini menjalani proses hukum. Padahal dalam berbagai pernyataannya, Tom menyatakan bahwa kebijakan impor tersebut bukanlah inisiatif pribadinya, melainkan keputusan resmi pemerintah melalui rapat terbatas, bahkan ia hanya menjalankan arahan langsung dari Presiden Joko Widodo saat itu.
Sebagaimana dikutip dari Kompas dan Tempo, Tom Lembong menyebut bahwa ia bertindak atas dasar putusan formal. "Saya hanya menjalankan keputusan yang telah disepakati dalam rapat terbatas, dengan kehadiran Presiden, Menko Perekonomian, dan kementerian teknis lainnya. Semua legal dan prosedural," ujar Tom kepada wartawan usai persidangan.
Fakta bahwa hanya satu dari enam menteri yang diproses hukum menimbulkan asumsi publik tentang kemungkinan tebang pilih dan lemahnya konsistensi dalam penegakan hukum. Jika semua menteri menjalankan kebijakan yang disepakati dalam forum resmi negara, mengapa hanya satu yang dimintai pertanggungjawaban hukum?
Kasus ini menambah daftar panjang ironi dalam politik hukum di Indonesia, di mana hukum kadang terlihat tajam ke bawah dan tumpul ke atas, atau justru tajam ke yang tidak lagi punya posisi dan kuasa. Nasib Tom Lembong kini seperti simbol dari ketimpangan sistem penegakan hukum yang belum sepenuhnya bebas dari tarik-menarik politik dan kepentingan elite.
(Red/Vendetta)