Jasa Website Berita Online

Daya Beli Kian Anjlok, Masyarakat Bertahan dari Utang dan Makan Tabungan

author photo Senin, Juli 21, 2025



SHARE YA KAK!, Jakarta — Situasi ekonomi Indonesia pada pertengahan 2025 masih penuh tekanan. Data terbaru menunjukkan bahwa daya beli masyarakat terus menurun, memaksa banyak keluarga untuk mengandalkan utang dan menguras tabungan guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan II-2025 hanya mencapai 4,6 persen secara tahunan (yoy), lebih rendah dari triwulan sebelumnya sebesar 4,9 persen. Penurunan ini terjadi di tengah kenaikan harga-harga kebutuhan pokok dan penurunan pendapatan riil masyarakat akibat inflasi dan stagnasi upah.

Dalam laporan Bank Indonesia, disebutkan bahwa Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) mengalami penurunan selama dua bulan berturut-turut, dari 127,7 pada Mei menjadi 123,3 pada Juni 2025. Penurunan ini mencerminkan melemahnya optimisme masyarakat terhadap kondisi ekonomi saat ini maupun prospek ekonomi enam bulan ke depan.

Kondisi tersebut mendorong banyak warga untuk mengambil pinjaman atau menarik tabungan mereka, demi mencukupi kebutuhan dasar seperti makan, biaya pendidikan, dan kesehatan. Dalam survei Katadata Insight Center yang dirilis awal Juli 2025, lebih dari 68 persen responden mengaku harus mengambil utang untuk kebutuhan konsumsi, sementara 52 persen lainnya menyatakan telah menggunakan tabungan secara bertahap selama enam bulan terakhir.

Sementara itu, dari sisi data keuangan, Dana Pihak Ketiga (DPK) yang merupakan indikator tabungan masyarakat di perbankan, mengalami perlambatan. Menurut data OJK per April 2025, pertumbuhan DPK tercatat hanya 3,4 persen (yoy), lebih rendah dibandingkan pertumbuhan kredit sebesar 9,4 persen. Hal ini menandakan masyarakat lebih banyak menarik dana simpanan dibanding menabung.

Tidak hanya masyarakat, pemerintah pun ikut meningkatkan pembiayaan utang. Kementerian Keuangan melaporkan bahwa target pembiayaan utang 2025 mencapai Rp775,87 triliun, meningkat hampir 20 persen dari tahun sebelumnya. Pembiayaan ini akan digunakan untuk menutup defisit APBN dan mendanai berbagai program prioritas.

Bank Indonesia juga mencatat bahwa utang luar negeri Indonesia per April 2025 melonjak menjadi US$431,5 miliar atau sekitar Rp7.033 triliun, naik 8,2 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kenaikan ini dipengaruhi oleh penarikan pinjaman dari luar negeri serta meningkatnya arus masuk modal asing ke pasar Surat Berharga Negara (SBN).

"Pertumbuhan utang dan penurunan tabungan menjadi sinyal bahwa masyarakat berada dalam tekanan ekonomi serius. Jika daya beli terus tergerus, efeknya bisa sistemik, termasuk pada sektor UMKM dan konsumsi domestik," ujar ekonom Bank Permata Josua Pardede dalam wawancaranya dengan CNBC Indonesia.

Kondisi ini diperparah oleh stagnasi penghasilan masyarakat. Dalam laporan GoodStats bertajuk Potret Kondisi Keuangan Masyarakat Indonesia 2025, disebutkan bahwa mayoritas masyarakat kelas menengah bawah mengalami stagnasi penghasilan selama dua tahun terakhir, sementara pengeluaran meningkat akibat inflasi pangan dan tarif energi.

Berdasarkan data Survei Konsumen Bank Indonesia, proporsi pengeluaran masyarakat untuk kebutuhan makanan dan transportasi terus meningkat, sementara alokasi untuk tabungan dan investasi justru menurun signifikan. Ini mengindikasikan peningkatan konsumsi subsisten dan penurunan kapasitas menabung, suatu indikator klasik dari tekanan daya beli.

Dalam situasi ini, banyak masyarakat yang akhirnya beralih ke pinjaman daring (pinjol) maupun skema kredit informal. Data dari Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menunjukkan bahwa jumlah outstanding pinjaman online per Mei 2025 mencapai Rp65,4 triliun, naik 17,8 persen dibanding tahun sebelumnya.

“Banyak masyarakat kita yang mengambil pinjaman bukan untuk modal usaha, tetapi untuk konsumsi dasar seperti biaya makan dan sekolah anak,” kata Ketua Umum AFPI Entjik S. Djafar, dilansir oleh Tempo.

Tekanan ekonomi ini tidak hanya dirasakan di kota besar, tetapi juga menjalar ke wilayah pedesaan. Di daerah-daerah seperti Jawa Tengah dan NTB, berbagai laporan media lokal seperti Kompas dan Antara mencatat peningkatan signifikan kasus gagal bayar pinjaman dan menurunnya transaksi di pasar tradisional.

Ke depan, banyak analis memperingatkan bahwa bila tidak ada kebijakan konkret untuk mengembalikan daya beli melalui subsidi tepat sasaran, pembukaan lapangan kerja, dan pengendalian harga maka tekanan ekonomi rakyat akan makin dalam dan bisa memicu krisis konsumsi domestik, yang selama ini menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.

(Red/Vendetta)

Next article Next Post
Previous article Previous Post

Advertisement

Jasa Pembuatan Website Berita Online

Advertisement

Jasa Pembuatan Website Berita Online