SHARE YA KAK!, Jakarta — Pemerintah menyebut kemiskinan menurun, pengangguran turun, ekonomi stabil. Namun, di lapangan, cerita berbeda. Banyak rakyat justru semakin tercekik: utang meningkat, harga tak kunjung turun, pekerjaan makin langka. Apakah ini hanya demi "Asal Bapak Senang"?
Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyampaikan bahwa tingkat kemiskinan Indonesia kembali turun pada Maret 2025, bahkan diklaim menjadi yang terendah sejak 2015. Jumlah penduduk miskin disebut menurun menjadi 25,43 juta jiwa dari sebelumnya 25,87 juta jiwa pada September 2024. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menyebut penurunan ini terjadi di semua wilayah.
"Penurunan ini disebabkan adanya peningkatan pengeluaran per kapita masyarakat yang berpengaruh terhadap garis kemiskinan," ujar Amalia seperti dikutip CNBC Indonesia, 1 Juli 2025.
Di saat yang sama, Menko Airlangga Hartarto juga mengklaim angka pengangguran terus menurun. Ia menyebut Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) turun dari 5,45% pada Februari 2023 menjadi 4,82% per Februari 2025. Bahkan ia menambahkan, kualitas lapangan kerja di Indonesia juga membaik, dengan tenaga kerja formal mencapai 40,67% dari total angkatan kerja.
Namun pernyataan-pernyataan ini menimbulkan pertanyaan di kalangan publik dan pengamat ekonomi. Pasalnya, klaim keberhasilan itu justru muncul sebelum data resmi kemiskinan diumumkan oleh BPS pada 1 Juli, sementara beberapa pernyataan sudah keluar jauh hari sebelumnya. Tak sedikit yang menilai klaim ini terlalu dini dan bersifat politis.
Ekonom INDEF, Esther Sri Astuti, dalam wawancaranya dengan CNBC Indonesia, mempertanyakan kredibilitas pernyataan pemerintah yang menyebut pengangguran turun drastis. Ia menyebut ada banyak pekerjaan informal atau setengah menganggur yang tidak dicatat secara komprehensif dalam angka TPT.
"Kalau pengangguran turun, kenapa banyak lulusan universitas yang masih menganggur atau bahkan rela bekerja di sektor informal yang tidak sesuai bidangnya?" ungkap Esther.
Di sisi lain, realita yang dialami masyarakat jauh dari narasi “semakin sejahtera”. Laporan dari Kompas dan Tempo menyebutkan daya beli masyarakat masih tertahan. Survei BI menunjukkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) turun dari 127,7 pada April menjadi 124,3 pada Mei 2025. Penurunan IKK ini mencerminkan kekhawatiran konsumen terhadap kondisi ekonomi ke depan, terutama akibat harga kebutuhan pokok yang tak kunjung turun.
Fakta lainnya, selama semester I 2025, lebih dari 25.000 pekerja terkena PHK. Sebagian besar berasal dari sektor padat karya dan manufaktur, seperti tekstil dan garmen. Sementara itu, angka kemiskinan dan ketimpangan di beberapa daerah seperti Papua, NTT, dan Maluku masih jauh di atas rata-rata nasional.
Tak hanya itu, survei Katadata Insight Center (KIC) menyebutkan bahwa 63% rumah tangga mengandalkan utang untuk mencukupi kebutuhan pokok. Bahkan tren penggunaan pinjaman online untuk kebutuhan konsumsi mengalami kenaikan signifikan di kuartal I 2025.
Seorang warga Jakarta Barat, Fitri (32), mengaku terpaksa meminjam uang lewat aplikasi pinjol untuk biaya sekolah anak dan membeli sembako. “Gaji saya habis untuk bayar kontrakan dan listrik. Kalau pemerintah bilang kemiskinan turun, saya justru merasa makin miskin,” ujarnya kepada HotNyus.com.
Ironisnya, klaim-klaim keberhasilan itu terus diumbar ke publik, terutama lewat media sosial dan konferensi pers resmi. Bahkan, narasi tersebut seolah menjadi doktrin baru: rakyat diminta percaya pada data dan presentasi PowerPoint, meskipun realita hidup sehari-hari berbicara lain.
Pengamat kebijakan publik Ir. Termul Wowik menilai fenomena ini sebagai bentuk “statistik kosmetik”. Ia menilai banyak indikator keberhasilan yang diglorifikasi, padahal tak menyentuh persoalan utama rakyat.
“Ini budaya asal bapak senang. Angka dibuat seindah mungkin untuk menyenangkan elite, bukan untuk menyelesaikan masalah rakyat,” katanya.
Situasi ini diperparah oleh kondisi fiskal yang makin berat. Defisit APBN hingga Juni 2025 sudah mencapai Rp204,2 triliun, sementara utang jatuh tempo tahun ini menembus Rp800 triliun. Di sisi lain, anggaran belanja kementerian, proyek IKN, dan gaji pejabat justru tetap tinggi.
Seolah tak cukup, pemerintah pun makin agresif menarik pajak dari rakyat kecil — dari penjual online, jasa digital, bahkan pekerja informal. Sementara itu, sejumlah perusahaan besar masih menikmati tax holiday dan insentif fiskal.
Semua ini menyisakan pertanyaan: siapa sebenarnya yang dilayani negara? Rakyat yang makin berat hidupnya, atau elite yang hanya ingin tampil baik di hadapan statistik dan pencitraan?
(Red/Vendetta)