SHARE YA KAK!, Jakarta — Presiden Prabowo Subianto kembali membuat pernyataan kontroversial yang memantik reaksi keras. Dalam pidatonya pada penutupan Kongres Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pada 20 Juli 2025, Prabowo menuding bahwa gerakan demonstrasi bertema “Indonesia Gelap” dan slogan “Kabur Aja Dulu” merupakan hasil rekayasa yang dibiayai para koruptor. Ia menyebut gerakan tersebut sebagai upaya untuk membuat Indonesia selalu gaduh dan miskin. “Ada gerakan-gerakan dibiayai oleh para koruptor. Indonesia Gelap, Kabur Aja Dulu... Itu semua upaya membikin negara kita gaduh, miskin terus,” ujar Prabowo seperti dikutip dari Kompas.com dan Tempo.co.
Pernyataan itu menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai tudingan tersebut sebagai upaya berbahaya untuk mendelegitimasi gerakan masyarakat sipil. Ia menantang Presiden untuk menunjukkan bukti jika memang benar ada koruptor di balik protes tersebut. “Presiden harus berhenti menyebarkan disinformasi. Jika ada tuduhan gerakan sipil dibiayai koruptor, tunjukkan siapa koruptornya, bagaimana alirannya, dan apa buktinya,” kata Usman dalam keterangan resminya di situs Amnesty.id (21/7/2025).
Sutradara sekaligus aktivis sosial Dandhy Laksono juga menyentil Prabowo lewat media sosial. Ia menilai pernyataan itu sebagai bentuk inkonsistensi narasi dan pengalihan isu terhadap kegagalan negara membaca kegelisahan rakyat. Narasi “Indonesia Gelap” tidak muncul tiba-tiba, apalagi karena disuap oleh koruptor. Ia lahir dari kenyataan sehari-hari yang dirasakan jutaan rakyat Indonesia: pendapatan stagnan, harga barang meroket, pinjaman daring menjadi penopang hidup, dan rasa kehilangan harapan yang makin dalam. Laporan CNBC Indonesia (Juli 2025) menyebutkan daya beli masyarakat Indonesia terus menurun pada semester I 2025, seiring turunnya indeks keyakinan konsumen dan meningkatnya pemutusan hubungan kerja. BBC News Indonesia juga menyoroti fenomena “hidup dari pinjol” yang semakin lazim di kalangan keluarga kelas menengah ke bawah dan anak muda.
Ketimbang direspon dengan empati dan aksi nyata, kritik dan jeritan rakyat justru disambut dengan tuduhan dan stigma. Presiden bukan hanya menolak mengakui realita itu, tetapi melempar tuduhan berat tanpa dasar. Lebih parah, ia menjadikan koruptor sebagai kambing hitam. Padahal para koruptor, boro-boro membiayai beginian, justru sedang menikmati hasil kejahatannya tanpa memikirkan sedikit pun dampak kebijakan negara terhadap rakyat. Menuduh koruptor sebagai pendana gerakan sosial tanpa menelaah makna korupsi yang sebenarnya justru menunjukkan kegagalan memahami apa itu pengkhianatan terhadap rakyat. Koruptor sejati adalah mereka yang merampok uang negara, menikmati impunitas, dan hidup nyaman di lingkar kekuasaan bukan mereka yang berdiri di jalan menuntut perubahan.
Termul Wowik, pegiat sosial media, menyampaikan tanggapan yang menyentuh nalar. “Kami bersuara di media sosial, di forum, di ruang-ruang diskusi karena prihatin, pemerintah seolah-olah masa bodoh dengan keadaan saat ini yang tak kunjung membaik dan tak ada solusi nyata untuk menyelesaikan masalah yang menimpa rakyatnya. Kalau sekarang malah dituduh dibiayai koruptor, itu menyakitkan. Jangan balikkan realita. Yang gelap itu bukan rakyatnya, tapi nurani penguasa yang tak mau melihat penderitaan rakyat,” ujarnya.
Kecenderungan pemerintah menuding “musuh bayangan” adalah pola lama yang terus diulang. Dalam demokrasi, ketika rakyat bicara, seharusnya penguasa mendengar. Tapi hari ini, suara rakyat justru dibungkam dengan stigma, kritik dijawab dengan tuduhan, dan gerakan digambarkan sebagai ancaman. Jika terus seperti ini, maka yang sedang gelap bukanlah rakyat. Yang benar-benar gelap adalah ruang batin mereka yang diberi mandat memimpin, tapi memilih menutup mata dan memutar balik kenyataan.
(Red/Vendetta)