Jasa Website Berita Online

Ojol dan Freelancer Masuk ke dalam Prekariat, Apa Itu Prekariat?

author photo Jumat, Juli 25, 2025



SHARE YA KAK!, Jakarta — Di balik hingar-bingar ekonomi digital dan kebebasan kerja fleksibel, tersimpan kenyataan getir yang dialami jutaan pekerja informal di Indonesia. Pengemudi ojek online (ojol) dan para pekerja lepas (freelancer) kini disebut masuk ke dalam golongan prekariat, sebuah istilah baru dalam sosiologi ketenagakerjaan yang menandai kelas pekerja tanpa kepastian hidup.

Dilansir dari Tempo (24/07/2025), Istilah prekariat berasal dari gabungan kata precarious (tidak menentu) dan proletariat (kelas pekerja). Istilah ini populer sejak awal 2010-an lewat tulisan Guy Standing, ekonom asal Inggris, yang menggambarkan munculnya kelas pekerja baru di era neoliberalisme yakni mereka yang hidup dalam ketidakpastian ekonomi, tanpa jaminan kerja, tanpa proteksi sosial, dan rentan jatuh miskin. Dalam konteks Indonesia, pekerja prekariat adalah mereka yang tidak memiliki kontrak kerja tetap, dibayar berdasarkan proyek atau satuan kerja, tidak mendapat tunjangan kesehatan, cuti, pensiun, atau asuransi, serta bergantung pada pasar, platform digital, atau algoritma.

Pengemudi ojek online sering disebut sebagai simbol ekonomi digital. Mereka disebut “mitra” oleh aplikator, bukan karyawan. Namun dalam praktiknya, mereka tetap tunduk pada sistem: dari algoritma, tarif yang diatur sepihak, hingga potongan insentif yang bisa berubah sewaktu-waktu. “Tarif turun, bonus hilang, potongan makin besar. Kami kerja sampai 12 jam sehari, tapi kadang bawa pulang cuma Rp100–150 ribu. Itu pun dipotong bensin dan cicilan motor,” kata Agus (nama samaran), pengemudi ojol di Jakarta kepada Tempo, Rabu, 24 Juli 2025. Mereka tidak memiliki hak untuk bernegosiasi atas tarif, tidak mendapat jaminan jika sakit, dan rentan kehilangan akun jika dianggap “melanggar” aturan platform. Dalam sistem yang demikian, banyak pengemudi sebenarnya bekerja secara penuh waktu, namun tanpa perlindungan layaknya pekerja formal.

Freelancer, baik penulis, desainer, editor video, atau pekerja digital lainnya, juga menghadapi situasi serupa. Meski terlihat mandiri, mereka bergantung pada pasar dan platform digital seperti Fiverr, Upwork, atau agensi lokal. Pendapatan fluktuatif, tidak ada jaminan kerja jangka panjang, dan semua tanggungan ditanggung sendiri—mulai dari perangkat kerja hingga jaminan sosial. Menurut data Hukumonline dan laporan dari Bhinneka, freelancer di Indonesia belum memiliki posisi hukum yang kuat. Sebagian besar tidak tercakup dalam perlindungan Undang-Undang Ketenagakerjaan, dan hanya diakui dalam bentuk perjanjian kerja jasa sipil atau borongan. “Kalau proyek lagi sepi, ya gak makan. Kalau sakit, gak ada yang ganti. Kadang klien gak bayar juga kami gak bisa ngadu ke mana-mana,” kata Devi, freelancer grafis asal Bandung.

Baik ojol maupun freelancer bekerja tanpa perjanjian kerja tetap. Mereka tidak disebut sebagai karyawan, tapi juga tidak benar-benar mandiri. Menurut Kementerian Ketenagakerjaan, status mitra seperti ini menciptakan “ketimpangan kekuasaan” antara pekerja dan aplikator atau klien. Mereka berada di wilayah hukum yang abu-abu: tak jelas hak dan kewajibannya, namun tetap diminta memenuhi kewajiban seperti jam kerja, performa, dan target. “Pekerja model ini mirip freelance, tapi sebenarnya lebih dekat ke eksploitasi digital,” ujar dosen hukum ketenagakerjaan dari Universitas Indonesia, Rahayu Kusuma, kepada Tempo. “Mereka terikat sistem, tapi tidak dilindungi oleh sistem.”

Riset ILO menyebut bahwa pekerja informal dan prekariat berisiko tinggi jatuh ke dalam kemiskinan, terutama jika tidak punya tabungan darurat, jaminan sosial, atau akses kredit formal. Di Indonesia, sekitar 59 persen angkatan kerja bekerja secara informal (BPS, Februari 2025), dan kelompok prekariat terus bertambah. Studi LIPI tahun 2024 menunjukkan bahwa pengemudi ojol dan freelancer memiliki pendapatan yang fluktuatif, dengan 65 persen dari mereka tidak memiliki tabungan lebih dari satu bulan pengeluaran rutin. Mereka bekerja keras, tapi tanpa perlindungan minimum untuk masa depan.

Meski desakan untuk mengatur status hukum pekerja digital terus digaungkan, hingga kini belum ada regulasi ketat yang mewajibkan aplikator memberikan jaminan ketenagakerjaan. Pemerintah sempat menyebut perlunya membuat “kategori pekerja baru” di luar klasifikasi karyawan tetap, namun pembahasannya berjalan lambat. Di sisi lain, beberapa serikat ojol dan komunitas freelancer mendorong platform untuk memberikan skema perlindungan sosial sukarela, seperti subsidi BPJS atau asuransi kecelakaan kerja. Namun selama status hukum belum diakui, posisi tawar mereka tetap lemah.

Fenomena prekariat bukan lagi isu akademik. Ia nyata dan menyangkut jutaan orang yang bekerja tanpa kepastian di era digital. Ojol dan freelancer bukan pengangguran terselubung, mereka bekerja keras, tapi tak pernah cukup aman secara ekonomi. Tanpa status, tanpa perlindungan, dan tanpa jaminan, mereka menjadi wajah buram dari ekonomi fleksibel yang menjanjikan kebebasan, tapi menyimpan ketidakadilan. Pertanyaannya, sampai kapan mereka dibiarkan bertahan sendiri?

(Red/Vendetta)

Next article Next Post
Previous article Previous Post

Advertisement

Jasa Pembuatan Website Berita Online

Advertisement

Jasa Pembuatan Website Berita Online