SHARE YA KAK!, Jakarta — Pernyataan satir tentang kebijakan negara kembali viral di media sosial. “Ketika tanah nganggur dua tahun diambil negara, ketika tabungan nganggur tiga bulan diblokir PPATK, yang lebih kejam ketika rakyat menganggur bertahun-tahun negara tidak peduli.” Kalimat itu ramai dibagikan warganet, menjadi simbol kekecewaan atas kontradiksi kebijakan publik dengan realitas lapangan kerja.
Data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah pengangguran terbuka per Februari 2025 mencapai 7,28 juta orang atau 4,76 persen dari total angkatan kerja. Angka itu bahkan lebih besar dibandingkan jumlah lapangan kerja baru yang tercipta sepanjang 2024–2025, yaitu 3,59 juta orang. Dengan kata lain, daya serap tenaga kerja masih jauh dari kebutuhan pasar.
Lulusan perguruan tinggi tidak lepas dari persoalan. BPS mencatat lebih dari 1 juta sarjana menganggur. Ironinya, justru lulusan SMA dan SMK yang menyumbang jumlah pengangguran terbesar, masing-masing mencapai lebih dari 2 juta orang. “Tingkat pengangguran lulusan SMK mencapai 8 persen, tertinggi dibanding jenjang pendidikan lainnya,” tulis Tempo.co (2 Mei 2025).
Di lapangan, ketimpangan ini tampak nyata. Dalam sejumlah job fair, antrean pencari kerja membeludak. Pada bursa kerja nasional di Jakarta Mei lalu, Kementerian Ketenagakerjaan menyediakan 52.476 lowongan. Namun, pengunjung yang hadir diperkirakan mencapai 40 ribu orang per hari. “Job fair hanya jadi ajang formalitas, bukan benar-benar solusi pencarian karyawan,” kritik CNBC Indonesia (30 Mei 2025).
Kondisi ini diperparah dengan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Sepanjang semester pertama 2025, tercatat 42.385 pekerja kehilangan pekerjaan, melonjak 32 persen dibanding periode sama tahun lalu. Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Banten menjadi wilayah dengan jumlah PHK tertinggi. “Gelombang PHK melejit, awas kemiskinan RI naik,” tulis CNBC Indonesia (29 Juli 2025).
Di tengah situasi itu, kebijakan pemblokiran rekening dormant ikut menuai sorotan. Banyak warganet menilai ironi semakin nyata: di saat daya beli menurun dan ekonomi lesu, bukankah tabungan adalah salah satu penyelamat ketika terdesak? Namun pemerintah justru sibuk memblokir rekening yang dianggap tidak aktif, dengan proses verifikasi yang bisa memakan waktu hingga 15 hari.
Sementara itu, pemerintah tetap menggaungkan optimisme. Kementerian Ketenagakerjaan menyebut penciptaan lapangan kerja baru mencapai rekor terendahnya sejak krisis 1998. Namun, survei GoodStats (2025) mencatat, 41 persen responden menilai kondisi ekonomi justru memburuk. Mereka merujuk pada daya beli yang melemah, meningkatnya pengangguran, hingga mahalnya biaya hidup.
Ekonom dari Universitas Gadjah Mada menilai ironi kebijakan ini mencerminkan kurangnya prioritas negara terhadap sektor ketenagakerjaan. “Pengangguran berpendidikan meningkat, salah satu solusi yang bisa ditempuh adalah memperluas ekspor tenaga kerja,” kata pakar UGM dikutip UGM.ac.id (2025).
Dalam konteks ini, satir warganet terasa tajam. Negara tegas mengatur tanah dan tabungan yang menganggur, namun terhadap jutaan rakyat tanpa pekerjaan, kebijakan seakan berjalan lambat. Pertanyaan besarnya: apakah pemerintah benar-benar hadir dalam menjawab keresahan rakyat, atau sekadar sibuk membangun narasi optimisme?
(Red/Vendetta)