SHARE YA KAK!, Amerika — TikTok sedang berada dalam fase penting eksistensinya di Amerika Serikat. Menghadapi tekanan regulasi dan ketegangan geopolitik, perusahaan raksasa media sosial ini diam-diam menyiapkan langkah besar: merilis versi baru aplikasi khusus untuk pengguna di AS. Proyek ini, yang secara internal disebut “M2”, dijadwalkan meluncur pada awal September 2025.
Langkah ini merupakan respons terhadap Undang-Undang yang diteken Presiden Joe Biden pada April 2024, yang mewajibkan ByteDance—perusahaan induk TikTok asal China—untuk melepas kepemilikan TikTok di AS ke investor lokal atau menghadapi pemblokiran penuh.
“TikTok tengah mengembangkan aplikasi versi baru bernama M2 untuk pasar AS dan akan meminta pengguna mengunduh ulang aplikasi agar tetap dapat mengakses layanan hingga Maret 2026,” tulis Tempo dalam laporannya.
Peraturan ini tidak datang tiba-tiba. Pemerintah AS secara konsisten menyuarakan kekhawatiran terkait keamanan data dan potensi pengaruh pemerintah China terhadap platform tersebut. Dalam perkembangan terbaru, pemerintahan baru di bawah Presiden Donald Trump justru mengambil peran lebih aktif.
Trump yang kini kembali menjabat, diketahui telah beberapa kali menunda eksekusi pelarangan TikTok. Ia juga menyatakan akan membuka jalur negosiasi dengan pemerintah China terkait penjualan TikTok dan mengklaim telah menemukan calon pembeli dari kalangan investor kaya Amerika.
“Trump telah memberikan kelonggaran operasional TikTok beberapa kali dan mengatakan bahwa dirinya akan mulai bicara langsung dengan China untuk menyelesaikan persoalan ini,” tulis CNBC Indonesia.
Namun tantangan tidak berhenti di persoalan hukum dan kepemilikan. Isu besar lain terletak pada teknologi algoritma TikTok. Pemerintah China menolak keras permintaan transfer algoritma inti kepada pihak baru di AS. Artinya, jika ByteDance benar-benar menjual TikTok, aplikasi versi Amerika kemungkinan besar harus membangun algoritma sendiri dari awal.
“Pemerintah China menolak keras transfer algoritma TikTok ke pihak asing, membuat versi AS harus mulai dari nol dalam membangun sistem rekomendasi dan pengelolaan kontennya,” lapor CNN Indonesia.
Bagi pengguna, situasi ini telah menimbulkan kekhawatiran. Pada Januari 2025, TikTok sempat diblokir di AS selama hampir 13 jam. Saat itu, sekitar 170 juta pengguna aktif terkena dampaknya. Gangguan akses ini berakhir hanya setelah ada intervensi langsung dari Presiden Trump, yang memberikan perpanjangan waktu agar aplikasi tetap bisa digunakan sementara waktu.
“TikTok sempat diblokir selama 13 jam di AS, memicu kepanikan pengguna hingga akhirnya bisa diakses kembali setelah Presiden Trump turun tangan,” tulis Kompas Tekno.
Dengan tekanan geopolitik yang semakin tajam, nasib TikTok di AS tampak bergantung pada dua hal: kesediaan ByteDance untuk berkompromi, dan kemampuan para pengambil keputusan politik AS dan China untuk mencapai kesepakatan bisnis yang saling menguntungkan.
Sementara itu, publik di AS—khususnya pengguna muda dan kreator konten—masih bertanya-tanya: apakah TikTok versi baru nanti akan tetap terasa seperti rumah digital yang selama ini mereka kenal? Atau justru akan menjadi aplikasi asing yang hanya menyandang nama yang sama?
(Red/Vendetta)