Jasa Website Berita Online

Satu Per-satu Toko Tutup: Bukti Nyata Daya Beli Semakin Anjlok!

author photo Senin, Juli 14, 2025



SHARE YA KAK!, Jakarta — Rolling door yang tertutup rapat, etalase kosong, dan papan “Disewakan” yang menempel di kaca depan toko-toko menjadi pemandangan biasa di berbagai kota sepanjang 2025. Toko-toko yang dulu sibuk dengan aktivitas jual beli kini beralih menjadi ruang kosong yang sunyi. Dari minimarket, gerai busana, hingga warung kelontong, satu per satu tak sanggup bertahan. Fenomena ini tak terjadi dalam semalam. Ia adalah akumulasi dari pelambatan ekonomi yang nyata, dan makin sulit disangkal: daya beli masyarakat sedang runtuh.

Sepanjang awal tahun hingga pertengahan 2025, penutupan gerai ritel modern menjadi tren yang tak bisa ditepis. Beberapa nama besar gulung tikar atau menutup cabang di sejumlah kota. Bahkan, beberapa waralaba internasional pun ikut angkat kaki dari Indonesia karena penurunan performa penjualan dan persaingan harga yang kian brutal. Tak hanya ritel besar, pedagang kecil di pasar tradisional dan pelapak mandiri juga turut tumbang dalam diam.

Menurut laporan Tempo, penurunan aktivitas perdagangan ini telah terjadi sejak kuartal pertama 2025, seiring dengan lesunya konsumsi rumah tangga. Badan Pusat Statistik mencatat perlambatan signifikan pada indikator belanja masyarakat. Di tengah kenaikan harga kebutuhan pokok dan tekanan biaya hidup, masyarakat lebih memilih menahan belanja, kondisi yang secara langsung memukul omzet pelaku usaha.

Di gang kecil dekat Pasar Ujung Berung, Bandung, Sari (43), pemilik toko sembako, baru saja menutup usahanya. “Biasanya jam 7 pagi udah ada yang beli telur, sekarang jam 10 pun belum ada satu pun pembeli,” katanya. Ia mengaku omzet harian yang dulu bisa tembus Rp700 ribu, kini hanya tinggal Rp100–150 ribu. Itu pun belum tentu habis stok. “Saya sudah enggak sanggup lagi bayar listrik dan cicilan kulkas. Akhirnya toko saya tutup.”

Beban lain datang dari perubahan pola konsumsi. Konsumen kini lebih nyaman berbelanja daring, di platform e-commerce yang menawarkan harga lebih murah, layanan pengiriman cepat, dan diskon harian yang sulit disaingi toko fisik. Minimarket seperti Alfamart dan Indomaret yang semula tumbuh pesat pun mulai mengalami tekanan, apalagi toko-toko mandiri.

Amin, 51 tahun, yang membuka kios pakaian di kawasan Cibinong selama lebih dari 20 tahun, mengaku belum pernah mengalami kondisi sesulit ini. “Dulu kalau awal bulan bisa laku belasan potong, sekarang satu pun kadang enggak ada. Orang lebih pilih beli lewat HP, katanya lebih murah,” ujarnya sambil melipat sisa dagangan.

Tren ini bukan hanya memukul usaha, tetapi juga tenaga kerja. Penutupan toko-toko ritel berdampak langsung pada pemutusan hubungan kerja. Asosiasi pengusaha ritel mencatat ribuan karyawan telah dirumahkan dalam enam bulan terakhir. “Kalau penjualan tidak sampai target, gerai pasti ditutup, dan karyawan otomatis kena dampaknya,” kata Ketua Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Roy Nicholas Mandey.

Di sisi lain, ritel tradisional makin tersudut. Studi dari sejumlah universitas dan lembaga riset menunjukkan efek langsung keberadaan ritel modern terhadap pendapatan pedagang pasar. Penurunan omzet bisa mencapai 50–70 persen dalam jangka waktu 1–2 tahun sejak minimarket masuk ke area sekitar. Toko-toko kecil tak bisa bersaing dari sisi harga karena keterbatasan rantai pasok dan volume belanja.

Rita, 29 tahun, kasir di sebuah gerai swalayan di Surabaya, masih menunggu kepastian dari manajemen soal kelangsungan pekerjaannya. “Katanya bulan depan cabang kami mau ditutup. Saya bingung, ini satu-satunya kerjaan saya. Kalau sampai di-PHK, enggak tahu lagi saya harus kerja di mana,” katanya pelan.

Akibat dari semua ini, ruang-ruang usaha di pusat niaga dan ruko-ruko pinggir jalan mulai ditinggalkan. Nilai sewa turun, tingkat okupansi merosot. Di Jakarta Selatan, pemilik properti komersial mulai menawarkan diskon besar agar tokonya tetap terisi. Namun daya beli yang lemah tetap menjadi tembok besar yang sulit ditembus. Banyak calon penyewa memilih menunda ekspansi atau bahkan menutup bisnis yang sudah berjalan.

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan sempat mengakui bahwa ritel sedang berada dalam tekanan serius. Dalam kunjungannya ke salah satu pusat perbelanjaan, ia menyebutkan bahwa perubahan perilaku konsumen dan persaingan digital memaksa pelaku usaha beradaptasi lebih cepat atau kalah. Namun tak semua pelaku usaha punya kemampuan modal dan teknologi untuk bersaing.

Sayangnya, proyeksi ke depan belum menunjukkan angin segar. Sejumlah lembaga ekonomi memperkirakan pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini akan stagnan di kisaran 4,8–5 persen, dengan tekanan global dan pengetatan fiskal dalam negeri. Jika tak ada kebijakan yang mendorong peningkatan daya beli secara langsung, seperti bantuan tunai atau stimulus sektor informal, maka tren penutupan toko bisa terus berlanjut.

Kini, para pedagang kecil dan pengusaha ritel menanti solusi. Mereka berharap pemerintah hadir tidak hanya dengan seruan optimisme, tetapi dengan kebijakan nyata: subsidi, potongan pajak, atau kemudahan perizinan yang bisa menghidupkan kembali roda dagang. Sebab jika tidak, maka satu demi satu toko akan tutup. Dan pada akhirnya, yang tersisa hanyalah kenangan akan etalase yang dulu pernah terang.

(Red/Vendetta)

Next article Next Post
Previous article Previous Post

Advertisement

Jasa Pembuatan Website Berita Online

Advertisement

Jasa Pembuatan Website Berita Online