SHARE YA KAK!, Jakarta — Di tengah makin sempitnya lapangan kerja formal, lulusan perguruan tinggi di Indonesia menghadapi kenyataan pahit. Bukan hanya menganggur, banyak dari mereka kini beralih profesi menjadi asisten rumah tangga (ART), sopir, hingga pekerja kasar lainnya. Fenomena ini tidak lagi sekadar cerita viral, melainkan gejala sosial yang terkonfirmasi oleh data dan testimoni nyata.
Seorang lulusan S2 Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada yang viral di media sosial mengaku telah bekerja sebagai satpam di perusahaan migas sejak 1995. “Saya lulusan pascasarjana. Tapi dari dulu kerja saya ya jadi security. Yang penting halal dan bisa kasih makan anak istri,” ujarnya seperti dikutip dari Detik Finance, Selasa (2/7).
Di media sosial, muncul pula banyak testimoni serupa. “Saya sarjana ekonomi. Tapi setelah dua tahun nganggur, akhirnya saya kerja jadi sopir pribadi di Jakarta. Gaji nggak besar, tapi lebih baik daripada nungguin panggilan yang gak datang-datang,” tulis akun @sarjanakerja via unggahan Instagram yang viral pekan lalu.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Mei 2025 mencatat tingkat pengangguran terbuka mencapai 4,76 persen. Sementara itu, lulusan pendidikan tinggi menempati salah satu posisi tertinggi dalam daftar kelompok pengangguran.
Ketua Umum Ikatan Praktisi SDM Indonesia (IPSI), Supriyadi, membenarkan bahwa gejala ini telah berlangsung lama namun kini membesar. “Fenomena ini bukan hal baru. Sudah sejak tahun 2000-an banyak sarjana yang tidak terserap sektor formal dan akhirnya masuk ke pekerjaan informal seperti sopir, ART, bahkan OB,” ujarnya dalam wawancara dengan Indopolitika, Senin (1/7).
Menurutnya, penyebab utama adalah ketidakseimbangan antara jumlah lulusan dengan ketersediaan lapangan kerja. Ditambah lagi, perusahaan kini lebih memilih pelamar dengan keterampilan dan pengalaman kerja nyata dibanding hanya gelar akademik.
“Kalau cuma ijazah, semua juga punya. Tapi yang dibutuhkan sekarang adalah kompetensi kerja. Sarjana yang tidak punya keahlian praktis jelas kalah saing,” ucap Supriyadi.
Tak sedikit pula yang terdampak langsung badai PHK yang melanda sejak pandemi dan belum benar-benar pulih. Di artikel BBC Indonesia, seorang mantan staf admin perusahaan logistik di Bekasi mengaku terpaksa menjadi ART setelah di-PHK. “Awalnya malu. Tapi saya harus hidup, dan saya tetap kerja keras. Meski sekarang saya jadi pembantu rumah tangga,” ujarnya.
Situasi ini tak hanya terjadi di kota-kota besar. Di Gorontalo, sejumlah laporan menyebutkan banyak lulusan S1 yang bekerja sebagai cleaning service, petugas parkir, hingga buruh proyek harian. Sebagian besar mengaku sudah menyerahkan ratusan lamaran kerja tanpa hasil.
“Dunia kerja kita sedang tidak baik-baik saja. Ini sudah jadi krisis sistemik,” ujar ekonom dari Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, kepada Kompas.id, Jumat (28/6). Ia menilai perlu reformasi besar-besaran dalam kebijakan pendidikan dan ketenagakerjaan.
Kondisi ini menyisakan ironi yang dalam. Di satu sisi, keluarga berlomba-lomba menyekolahkan anak setinggi mungkin, berharap masa depan cerah. Di sisi lain, kenyataan tak semanis impian. “Saya habiskan Rp 100 juta buat anak saya kuliah. Sekarang dia malah kerja jaga toko, digaji harian,” kata seorang ayah asal Klaten yang diwawancarai Harian Batak Pos.
Ketika gelar tak lagi menjamin masa depan, yang tersisa hanyalah daya juang dan adaptasi. Namun, apakah cukup menyalahkan individu? Ataukah sistem yang selama ini terlalu menjual mimpi?
(Red/Vendetta)