SHARE YA KAK!, Jakarta — Kredit Pemilikan Rumah (KPR) makin banyak yang mandek cicilannya. Per Mei 2025, rasio kredit macet alias non-performing loan (NPL) KPR nasional melonjak menjadi 3,24%, menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dikutip Kontan.co.id. Ini merupakan posisi tertinggi dalam empat tahun terakhir. Sebagai perbandingan, NPL KPR pada tahun 2021 masih berada di level 2,94%.
Kondisi ini memburuk sejak awal tahun. Pada Januari 2025, NPL KPR masih berada di angka 2,88%, kemudian naik menjadi 3,13% pada April, dan akhirnya menembus 3,24% di bulan Mei. Tren ini menunjukkan tekanan nyata terhadap ketahanan keuangan masyarakat dalam membayar cicilan rumah, terutama kalangan menengah ke bawah.
PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN, sebagai penyalur KPR terbesar di Tanah Air, mencatat rasio NPL KPR mencapai 3% per Maret 2025, melonjak dari posisi 1,7% pada Maret 2024. “Peningkatan ini seiring dengan tekanan ekonomi yang berdampak pada nasabah berpenghasilan rendah hingga menengah,” ujar Direktur Manajemen Risiko BTN seperti dilansir Kontan.
BTN memproyeksikan tekanan ini masih akan berlangsung hingga enam bulan ke depan. Untuk itu, BTN memilih strategi konservatif dalam ekspansi KPR, dengan target pertumbuhan di bawah 10% tahun ini.
Nasib serupa juga dialami Bank BCA. Bank swasta terbesar ini mencatat NPL KPR sebesar 1,54% per Maret 2025, meningkat dari 1,26% di akhir tahun 2024. Meski angka tersebut terbilang lebih rendah dibanding BTN, BCA tak menutup mata terhadap potensi risiko ke depan. “Kondisi makroekonomi global yang tidak stabil berpotensi menaikkan NPL lebih lanjut,” ungkap manajemen BCA kepada Kontan, seraya menekankan pentingnya prinsip kehati-hatian dan pengawasan ketat terhadap kredit bermasalah.
Meningkatnya kredit macet KPR tak lepas dari faktor melemahnya daya beli masyarakat. Pendapatan rumah tangga yang stagnan, inflasi yang terus menggerus pengeluaran, dan beban hidup yang membengkak membuat banyak debitur tak lagi mampu membayar cicilan tepat waktu.
Tekanan makin berat sejak berakhirnya masa relaksasi restrukturisasi kredit Covid-19. Selama pandemi, banyak debitur mendapatkan keringanan pembayaran. Namun kini, mereka kembali dibebani skema cicilan penuh, tanpa penyesuaian pendapatan yang memadai.
Bank-bank mulai merespons kondisi ini dengan memperketat proses penyaluran kredit. Strategi yang dilakukan antara lain dengan menyasar segmen pasar sesuai profil risiko, memperkuat sistem teknologi anti-fraud, menyempurnakan proses sentralisasi analisis kredit, hingga membentuk tim khusus untuk penagihan dan pemantauan nasabah bermasalah.
“Penguatan manajemen risiko menjadi kunci utama menjaga kualitas aset. Kami lebih selektif dalam menyalurkan KPR baru,” kata salah satu eksekutif bank swasta yang enggan disebut namanya, dikutip Kontan.
Para analis memperkirakan tren kredit macet KPR masih akan berlanjut setidaknya hingga akhir tahun. Sebab selain daya beli belum pulih, kenaikan suku bunga dalam beberapa kuartal terakhir juga berdampak pada naiknya cicilan KPR berbunga mengambang. Ini membuat tekanan terhadap debitur kian berat.
Di sisi lain, sektor properti turut terguncang. Penurunan penjualan rumah dan apartemen sudah terasa, terutama di segmen rumah subsidi dan menengah yang menjadi tulang punggung pembelian KPR. Pengembang pun mulai menahan peluncuran proyek baru demi menghindari risiko gagal bayar yang lebih luas.
Jika tak ada stimulus fiskal atau kebijakan pemulihan daya beli dalam waktu dekat, para pelaku industri menilai lonjakan NPL KPR bisa terus membayangi kesehatan perbankan hingga 2026.
(Red/Vendetta)