SHARE YA KAK!, Jakarta — Satu per satu beban fiskal negara terbuka di hadapan publik. Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melebar, utang jatuh tempo menumpuk, dan angka pemutusan hubungan kerja melonjak tajam. Namun di tengah situasi ini, fakta lain justru lebih mengguncang: uang negara yang seharusnya menopang kehidupan rakyat telah raib dalam praktik korupsi yang sistemik.
Hingga Juni 2025, estimasi kerugian negara akibat korupsi dari sederet kasus besar tercatat melampaui Rp1.300 triliun. Angka yang mencengangkan ini berasal dari laporan investigatif dan audit berbagai lembaga resmi, termasuk KPK, BPKP, serta sejumlah media nasional.
Kasus korupsi terbesar datang dari tubuh BUMN energi, Pertamina, yang menurut laporan investigasi Katadata dan Tempo, telah menyebabkan kerugian negara mencapai Rp968,5 triliun sepanjang 2018–2023. Kasus ini melibatkan penyalahgunaan kontrak jangka panjang, praktik mark-up impor, hingga dugaan pembelian kilang fiktif.
Kasus lain yang tak kalah mencolok adalah korupsi di sektor pertambangan, yakni di PT Timah, yang menyebabkan kerugian sekitar Rp300 triliun, berdasarkan temuan Bareskrim Polri dan Kementerian Lingkungan Hidup.
Kasus korupsi Wilmar Group, yang muncul pada pertengahan 2025, juga mencuat setelah KPK mengungkap kerugian negara mencapai Rp11,8 triliun akibat manipulasi distribusi minyak sawit dan penghindaran pajak ekspor.
Belum termasuk puluhan kasus pengadaan barang dan jasa yang dilaporkan Antikorupsi.org, dengan total potensi kerugian negara sekitar Rp47,18 triliun selama periode 2019–2023.
Dalam wawancara khusus, Ir. Termul Wowik, pengamat tata kelola fiskal, menyebut fenomena ini sebagai “kerusakan yang bersifat struktural.”
“Kita tidak sedang menghadapi kasus korupsi biasa. Ini sudah menjelma menjadi jaringan sistemik yang bersarang dalam tubuh negara. Maka wajar jika kebijakan negara hari ini tampak pincang, karena darahnya—anggaran publik—telah dikuras sejak lama,” ujar Termul.
Dalam periode yang sama, pemerintah melaporkan defisit APBN sebesar Rp204,2 triliun hingga Juni 2025. Pendapatan negara menurun, sementara belanja publik terus meningkat. Pemerintah berulang kali menyebut “efisiensi” dan “reformasi fiskal” sebagai solusi, namun publik mulai mempertanyakan ke mana sesungguhnya dana-dana publik itu pergi.
Di sisi lain, rakyat dihadapkan pada kenyataan pahit. Lebih dari 96.000 pekerja telah terkena PHK sejak akhir 2024 hingga pertengahan 2025, mayoritas berasal dari sektor industri dan ritel. Subsidi energi dibatasi, bantuan sosial tak kunjung cair, sementara harga bahan pokok naik akibat tekanan global dan pelemahan daya beli.
“Ini ironi yang sempurna. Di saat negara sibuk berbicara pembangunan, rakyat justru kehilangan pekerjaan dan penghidupan. Ini bukan sekadar kegagalan teknis, tapi kegagalan moral,” kata Termul.
Pemerintah telah menggelontorkan Rp147,41 triliun untuk proyek Ibu Kota Nusantara (IKN), dan masih membutuhkan ratusan triliun lagi hingga 2045. Namun di saat bersamaan, puluhan proyek strategis nasional (PSN) justru mangkrak. Sebanyak 58 proyek PSN senilai Rp470 triliun terancam gagal, mayoritas berupa jalan tol, pelabuhan, dan jalur kereta api.
Ir. Termul menilai, semua ini adalah cerminan bagaimana pengambilan keputusan fiskal dalam dekade terakhir tidak dilandasi evaluasi kebijakan yang matang, melainkan terjebak dalam simbolisme pembangunan.
“Ketika uang negara dikelola tanpa prioritas yang jelas, dan ketika korupsi dibiarkan menjadi bagian dari mekanisme distribusi anggaran, maka negara tak ubahnya perusahaan bangkrut yang terus menjual janji,” ujarnya lagi.
Indonesia sedang berdiri di persimpangan. Di satu sisi ada tekanan global: krisis iklim, ketegangan geopolitik, dan perlambatan ekonomi. Di sisi lain, ada kerusakan dalam negeri yang lebih dalam: tata kelola anggaran yang timpang, sistem pengawasan yang lemah, dan pembiaran terhadap perilaku korup.
Masyarakat boleh berharap, tapi realita saat ini menunjukkan: negara sudah lama mengalami kelumpuhan struktural. Dan ketika yang rusak adalah pondasinya, maka perbaikannya tidak bisa hanya lewat permak kosmetik.
“Kita perlu lebih dari sekadar pergantian presiden. Kita butuh perombakan cara berpikir tentang negara—bahwa rakyat bukan beban, melainkan tujuan,” tutup Ir. Termul.
Oleh: Ir. Termul Wowik
(Red/Vendetta)