Jasa Website Berita Online

Kerja Keras Tapi Tetap Miskin: Potret Suram Kalangan Bawah Indonesia di 2025

author photo Sabtu, Juli 12, 2025



SHARE YA KAK!, Jakarta — Ahmad, 35 tahun, bekerja sebagai buruh bongkar muat di kawasan industri Cikarang. Setiap hari ia bangun pukul empat pagi, menempuh perjalanan dua jam menuju gudang tempat ia bekerja serabutan. Dalam sebulan, pendapatan bersihnya tak lebih dari Rp3,2 juta. Itu pun belum dipotong ongkos transportasi, pulsa, dan cicilan motor. "Sisa uang cuma cukup buat makan sama bayar listrik," katanya.

Ahmad bukan satu-satunya. Di berbagai sudut kota, dari pasar tradisional Jakarta sampai kawasan pesisir Makassar, suara serupa menggema: sudah bekerja mati-matian, tapi uang tak pernah cukup. Bukan karena malas, tapi karena sistem yang tak memberi ruang bernapas.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada 2025, total upah minimum provinsi (UMP) di Indonesia mengalami kenaikan rata-rata 6,5 persen dibanding tahun sebelumnya (CNBC Indonesia, 9 Januari 2025). Namun, kenaikan ini belum cukup menutupi jurang kebutuhan hidup.

Di Jakarta, UMP tertinggi tercatat Rp5.396.761, namun menurut laporan Kompas.id (Mei 2025), kebutuhan hidup layak (KHL) di ibu kota sudah mencapai Rp14,88 juta per bulan, nyaris tiga kali lipat dari upah minimum.

Di sisi lain, di provinsi seperti Jawa Tengah, UMP masih stagnan di angka Rp2.169.348, sementara di Papua sekitar Rp4,2 juta (Jobstreet & Pegadaian Sahabat). Dengan harga pangan, transportasi, dan pendidikan yang terus naik, pekerja informal dan buruh jelas makin sulit bertahan.

"Upah naik, tapi harga barang juga ikut melonjak. Akhirnya daya beli tetap turun," ujar Esther Sri Astuti, peneliti dari INDEF, dikutip dari Kompas.id, 2025.

Berdasarkan data dari Media Keuangan Kemenkeu (Mei 2025), inflasi tahunan di Jakarta mencapai 2,21 persen, didorong oleh kenaikan tarif listrik dan bahan pangan (Kemenkeu.go.id). Namun secara riil, masyarakat kelas bawah merasakan inflasi lebih besar, karena sebagian besar pendapatan mereka habis untuk pengeluaran pokok.

Laporan CNBC Indonesia (Mei 2025) juga menyebut bahwa Indonesia masih dilanda gejala deindustrialisasi dini, sehingga penciptaan lapangan kerja formal stagnan. Akibatnya, banyak orang bekerja di sektor informal tanpa jaminan sosial, dengan penghasilan tak menentu.

Siti Nurhayati, ibu rumah tangga di Tangerang, mengaku harus memutar otak agar penghasilan suaminya yang hanya Rp4 juta per bulan cukup untuk membiayai empat orang. "Kadang kami hanya makan nasi dan garam. Yang penting anak bisa sekolah," ujarnya.

Laporan Neraca.co.id dan Katadata menyoroti bahwa kelas menengah bawah kini hidup dalam tekanan berat. Mereka tidak miskin menurut data administratif, tetapi juga tidak cukup kuat untuk menghadapi krisis ekonomi. Ini melahirkan istilah "kelas rentan", yakni mereka yang bisa terjerumus ke jurang kemiskinan hanya karena satu krisis: kehilangan kerja, sakit, atau gagal bayar utang.

Banyak keluarga yang terjerat utang konsumtif—baik pinjaman daring (pinjol), koperasi harian, maupun kredit multiguna berbunga tinggi. Ini menambah beban psikologis dan memperkuat lingkaran kemiskinan: upah rendah → kebutuhan tinggi → utang → bunga menumpuk → gagal bayar → depresi sosial.

Bahkan konsumsi rumah tangga—penopang utama ekonomi Indonesia yang menyumbang sekitar 55% dari PDB—mulai melemah. Menurut analisis Bank Indonesia (Juni 2025), Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) mengalami pelemahan karena masyarakat menahan belanja akibat tekanan biaya hidup.

Ekonom Bhima Yudhistira, Direktur CELIOS, menyebut bahwa bekerja keras bukan lagi jaminan bisa hidup layak. “Yang bertahan bukan yang paling rajin, tapi yang punya akses, pendidikan, dan privilege,” katanya dalam diskusi publik bertema ketimpangan ekonomi.

Sementara itu, pemerintah masih sibuk menggelontorkan anggaran besar untuk proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) dan penanganan utang luar negeri yang jatuh tempo. Data dari Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa total utang yang jatuh tempo pada 2025 mencapai Rp800,33 triliun, dengan beban bunga sudah menembus Rp257,08 triliun hingga semester I (CNBC Indonesia & Kemenkeu).

Sementara rakyat bawah bekerja tanpa jaminan akan masa depan, suara mereka tenggelam dalam hiruk-pikuk politik anggaran. Mereka bukan kaum rebahan, bukan pula pemalas. Mereka adalah orang-orang yang bekerja 10 jam sehari, tapi tetap tak sanggup membayar susu anak atau kontrakan rumah.

Mereka adalah potret paling nyata dari wajah ketimpangan Indonesia hari ini: kerja keras, tapi tetap miskin.

(Red/Vendetta)

Next article Next Post
Previous article Previous Post

Advertisement

Jasa Pembuatan Website Berita Online

Advertisement

Jasa Pembuatan Website Berita Online