SHARE YA KAK!, Pemerintah tampaknya sedang kebingungan. Setelah menghamburkan ratusan triliun rupiah untuk berbagai megaproyek, kini negara memberlakukan efisiensi dimana-mana. Sayangnya, efisiensi itu jatuhnya justru ke pundak rakyat kecil. Subsidi dipotong, bantuan sosial menghilang, dan harga kebutuhan pokok makin tak terjangkau. Negara bingung, dan rakyat yang dikorbankan.
Sebagai insinyur dan warga negara yang mencoba rasional, saya bertanya-tanya: ke mana semua perencanaan fiskal itu selama ini? Bukankah pembangunan seharusnya bertumpu pada prediksi ekonomi jangka panjang? Lalu kenapa saat dunia sedang dihantam krisis iklim, geopolitik, dan perlambatan ekonomi, kita justru kehabisan nafas fiskal?
Mari kita lihat angka-angka. Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) sudah menghabiskan sekitar Rp147,41 triliun hingga awal 2025. Dari jumlah itu, Rp89 triliun berasal dari APBN, uang rakyat. Sementara kebutuhan total proyek ini diperkirakan mencapai Rp466 triliun. Kita bahkan belum separuh jalan, tapi beban anggaran sudah berat.
Belum lagi deretan 58 Proyek Strategis Nasional senilai Rp470 triliun yang kini terancam mangkrak. Jalan tol yang tak selesai, pelabuhan yang tak berfungsi, kereta cepat yang hanya setengah jalur. Negara sudah menggelontorkan Rp141,6 triliun ke proyek-proyek ini—dan sekarang tak jelas bagaimana kelanjutannya.
Bandara? Pemerintah membangun 27 bandara baru dan merenovasi 64 lainnya, tapi banyak yang seperti hidup segan mati tak mau. Bandara Kertajati di Jawa Barat dan JB Soedirman di Purbalingga adalah contoh investasi triliunan yang tak kunjung ramai. Fasilitas ada, tapi maskapai tak datang, penumpang tak muncul. Uangnya tetap habis, manfaatnya nihil.
Dan kini, ketika tekanan fiskal kian nyata—defisit APBN diperkirakan melewati 3% PDB, utang negara menembus Rp8.300 triliun, dan pendapatan pajak meleset dari target—rakyat tiba-tiba diminta memahami keadaan. Bantuan sosial tak lagi cair, subsidi dikurangi, dan belanja negara ditekan. Tapi proyek besar jalan terus.
Saya tidak anti-pembangunan. Tapi membangun itu soal skala prioritas dan kejelasan arah. Kalau triliunan rupiah bisa digunakan untuk memperkuat ketahanan pangan, pendidikan, dan layanan kesehatan, mungkin kita tak akan sefrustrasi hari ini.
“Apa gunanya bangun gedung megah kalau rakyat tak bisa beli beras? Negara harusnya membangun hidup rakyat, bukan hanya membangun tiangnya.”
— Ir. Termul Wowik
Pemerintah hari ini terlihat seperti terjebak di antara ambisi dan realitas. Mereka membangun terlalu cepat tanpa jaminan bahwa fondasinya kuat. Sekarang ketika krisis global datang, rakyat yang diminta berhemat, bersabar, dan bertahan.
Pertanyaannya: kenapa dulu tak berpikir matang sebelum membakar anggaran?
Jika negara ingin bicara soal efisiensi, mari kita mulai dari hal-hal yang benar-benar tidak efisien:
- Proyek mangkrak yang tak pernah dievaluasi
- Dana besar untuk infrastruktur yang tak produktif
- Proyek IKN yang lebih mirip obsesi daripada solusi
Bukan memangkas bantuan rakyat, bukan menyetop subsidi untuk petani, bukan mencabut harapan hidup dari masyarakat kecil yang sudah babak belur.
“Negara tidak boleh bingung. Karena ketika negara bingung, maka yang jatuh korban adalah rakyat yang tak pernah diajak bicara sejak awal.”
Catatan Penutup:
Rakyat bukan beban. Mereka adalah tujuan dari segala bentuk pembangunan. Dan jika negara tidak bisa lagi memakmurkan rakyatnya, maka untuk apa semua yang telah dibangun?
Oleh: Ir. Termul Wowik