SHARE YA KAK!, Jakarta — Pemerintah menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan keuangan negara pada 2025. Proyeksi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terus melebar, sementara pertumbuhan ekonomi yang semula diperkirakan meningkat justru direvisi ke bawah. Situasi ini mencerminkan kondisi “besar pasak daripada tiang”—belanja negara tetap tinggi, namun penerimaan negara tidak mencapai target.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, defisit APBN 2025 diproyeksikan mencapai Rp 662 triliun atau setara 2,78 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini lebih besar dibandingkan target awal dalam APBN 2025, yakni Rp 616,2 triliun (2,53 persen dari PDB).
“Defisit melebar karena kinerja penerimaan negara lebih rendah dari yang diharapkan,” kata Sri Mulyani, dikutip dari Tempo.
Penerimaan negara hingga pertengahan tahun ini diperkirakan hanya mencapai Rp 2.865,5 triliun atau sekitar 95,4 persen dari target. Rinciannya, penerimaan pajak diproyeksikan sebesar Rp 2.076,9 triliun (94,9 persen dari target), bea dan cukai Rp 310,4 triliun (102,9 persen), serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 477,2 triliun (92,9 persen).
Di sisi lain, belanja negara tetap agresif. Hingga semester I-2025, realisasi belanja tercatat mencapai Rp 1.407,1 triliun atau 38,8 persen dari pagu anggaran tahunan. Belanja ini naik sekitar 0,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, seiring dibukanya blokir anggaran dan inisiatif efisiensi yang dijalankan kementerian dan lembaga.
Kondisi ini menyebabkan defisit fiskal semester I-2025 membengkak menjadi Rp 204,2 triliun atau 0,84 persen dari PDB, naik signifikan dibandingkan semester I-2024 yang hanya 0,34 persen dari PDB. Salah satu penyebabnya adalah kontraksi penerimaan pajak akibat tekanan ekonomi global dan lesunya aktivitas bisnis domestik pada kuartal pertama 2025.
Untuk menambal lubang defisit yang melebar, pemerintah tidak hanya mengandalkan penerbitan utang baru. Sri Mulyani telah meminta persetujuan DPR untuk menggunakan Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp 85,6 triliun, yakni dana sisa dari anggaran tahun sebelumnya.
“Kami tidak ingin seluruh defisit dibiayai dengan utang. Oleh karena itu, pemerintah memanfaatkan SAL sebagai alternatif pembiayaan,” ujarnya seperti dikutip CNN Indonesia.
Tak hanya defisit yang membengkak, pemerintah juga menurunkan asumsi pertumbuhan ekonomi 2025. Proyeksi yang semula berada di angka 5,2 persen, kini direvisi menjadi kisaran 4,7 hingga 5 persen. Revisi ini mempertimbangkan perlambatan ekonomi global, melemahnya ekspor, dan masih belum pulihnya daya beli masyarakat.
Ekonom Senior INDEF, Esther Sri Astuti, menyebut kondisi ini mengkhawatirkan karena tekanan fiskal bisa berdampak jangka panjang terhadap ruang gerak pemerintah. “Jika defisit terus membesar dan harus dibiayai dengan utang, maka beban bunga utang makin berat di masa depan,” ujarnya saat dihubungi terpisah, dikutip dari Stockbit Snips.
Situasi ini menunjukkan betapa rapuhnya struktur APBN saat ini. Pendapatan negara belum pulih sepenuhnya, sementara belanja terus digenjot untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi. Meski pemerintah telah mengambil langkah untuk menjaga defisit tetap dalam batas aman di bawah 3 persen PDB, penggunaan dana cadangan seperti SAL bisa mengurangi fleksibilitas fiskal di tahun-tahun mendatang.
Sinyal waspada pun dikirimkan oleh pasar. Tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) semakin sensitif terhadap sentimen defisit. Di tengah ketidakpastian global, pelebaran defisit bisa menciptakan persepsi risiko yang lebih tinggi terhadap stabilitas fiskal Indonesia.
Langkah pemerintah ke depan dinantikan, apakah mampu menjaga keseimbangan antara belanja produktif, keberlanjutan fiskal, dan pemulihan ekonomi. Jika tidak hati-hati, APBN bisa benar-benar “di ujung tanduk”.
(Red/Vendetta)