SHARE YA KAK!, Jakarta — Tak sedikit masyarakat yang panik saat gagal membayar utang pinjaman online (pinjol). Ancaman dari penagih utang, penyebaran data pribadi, hingga teror psikis kerap memunculkan kekhawatiran: apakah galbay (gagal bayar) pinjol bisa membuat seseorang dipenjara?
Pertanyaan itu terus mengemuka seiring maraknya praktik penagihan yang brutal dari sejumlah penyedia pinjaman, terutama yang ilegal. Namun, apa kata hukum?
Merujuk berbagai sumber, seseorang bisa dipidana atau masuk penjara hanya jika dalam proses pinjaman terdapat unsur tindak pidana, seperti penipuan, penggelapan, atau pemalsuan identitas. Dikutip dari Hukumonline, jika peminjam melakukan manipulasi data—misalnya menggunakan identitas palsu, mencatut nama orang lain tanpa izin, atau menggelapkan dana pinjaman—maka hal tersebut masuk ranah pidana dan dapat dijerat pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hal senada disampaikan CNBC Indonesia yang menjelaskan bahwa utang-piutang bukan tindak pidana, kecuali disertai unsur penipuan atau niat jahat.
Sementara itu, untuk kasus gagal bayar pinjol legal tanpa unsur pidana, hukum menyebut bahwa hal tersebut bukan tindak pidana, melainkan masuk dalam ranah hukum perdata. Dengan kata lain, seseorang tidak bisa dipenjara hanya karena tidak mampu membayar pinjaman. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakan: “Tidak seorang pun dapat dipenjara atau ditahan karena ketidakmampuan memenuhi kewajiban dalam suatu perjanjian perdata.”
Dalam yurisprudensi Mahkamah Agung juga ditegaskan, perkara utang-piutang adalah persoalan perdata, dan penyelesaiannya pun dilakukan melalui gugatan perdata, bukan laporan pidana. Dikutip dari DetikFinance, Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta juga menegaskan bahwa tidak ada dasar hukum untuk memenjarakan orang karena gagal bayar pinjol legal, selama tidak ada unsur penipuan.
Meski tidak bisa dipenjara, konsekuensi galbay tetap berat. Di antaranya adalah skor kredit yang memburuk karena data peminjam akan masuk dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK. Penagihan oleh debt collector juga menjadi risiko tersendiri, baik melalui telepon, media sosial, bahkan kunjungan ke rumah. Belum lagi bunga dan denda yang terus meningkat hingga nominal utang membengkak berlipat-lipat. Dikutip dari Hukumku.id, skor buruk di SLIK OJK membuat debitur sulit mendapatkan akses kredit lain di masa depan, baik dari pinjol maupun perbankan.
Kasus menjadi berbeda jika pinjaman dilakukan lewat pinjol ilegal. Pemerintah melalui Satgas Waspada Investasi dan OJK menegaskan bahwa masyarakat tidak wajib membayar utang ke pinjol ilegal karena praktik mereka tidak diakui hukum. Sebaliknya, pelaku pinjol ilegal bisa dijerat pasal pidana, terutama bila terbukti menyebarkan data pribadi, mengancam korban, atau melakukan intimidasi.
Dikutip dari DetikNews, Mahfud MD menyebut bahwa pelaku pinjol ilegal bisa dikenakan Pasal 368 KUHP tentang pemerasan dengan ancaman penjara 9 tahun, Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan, serta Undang-Undang ITE dengan ancaman 10 tahun penjara dan denda hingga Rp1 miliar jika menyebarkan data pribadi korban.
Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Prof. Topo Santoso, dikutip dari Tempo.co, mengingatkan pentingnya membedakan antara wanprestasi atau gagal bayar dengan tindak pidana. “Jangan sampai aparat atau masyarakat mengkriminalkan perbuatan perdata,” ujarnya.
Jadi, jika Anda gagal bayar pinjol dan tidak ada unsur pidana, hukum tidak membenarkan Anda dipenjara. Namun, konsekuensi keuangan tetap mengintai, apalagi jika pinjol tersebut legal dan terdaftar di OJK.
(Red/Vendetta)