Jasa Website Berita Online

Belakangan Dagangan Sepi, Banyak Pedagang Bingung: "Apa Cuma Saya yang Ngerasa Begini?"

author photo Sabtu, Juli 05, 2025



SHARE YA KAK!, Jakarta — Warung kelontong milik Nani (46) di kawasan Ciracas, Jakarta Timur, tampak lengang pada Rabu siang, akhir Juni 2025. Biasanya, menjelang awal bulan seperti ini, pembeli sudah ramai berbelanja kebutuhan harian. Tapi kini, ia hanya duduk menunggu di balik etalase kaca, sesekali mengecek ponsel. “Hari ini baru laku lima bungkus mie instan. Dulu, jam segini saya udah sibuk ngitung uang kembalian,” katanya pelan.

Nani bukan satu-satunya. Keluhan serupa bermunculan di berbagai lapak media sosial dan grup pedagang. Dari pasar tradisional hingga warung daring, suara yang muncul nyaris senada: usaha sepi pembeli, omzet merosot, dan barang dagangan makin lama tersimpan. “Awal tahun masih lumayan, tapi masuk Mei–Juni langsung anjlok. Pelanggan tetap banyak yang bilang uangnya pas-pasan,” kata Yanto (39), penjual sembako di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Fenomena ini bukan tanpa data. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat konsumsi rumah tangga pada kuartal II 2025 hanya tumbuh 1,8 persen, jauh lebih rendah dari kuartal yang sama tahun lalu yang mencapai 4,1 persen. Konsumsi rumah tangga yang biasanya menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi kini tertahan. Penurunan konsumsi itu sejalan dengan turunnya indeks penjualan riil yang dilaporkan Bank Indonesia. Pada Mei 2025, indeks ini mengalami kontraksi 2,5 persen (yoy), terutama di sektor makanan-minuman dan sandang.

Dalam laporannya, analis dari Olenka menyebutkan bahwa pelemahan daya beli masyarakat sudah terlihat sejak masa Lebaran 2025. “Penurunan ini dipicu oleh lonjakan PHK, berkurangnya tabungan masyarakat, dan lesunya aktivitas konsumsi. Jika tidak diatasi dengan kebijakan strategis, dampaknya bisa memperlambat pemulihan ekonomi secara keseluruhan,” tulis laporan tersebut, seperti dikutip dari Olenka.id.

Sementara itu, ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai berkurangnya stimulus ekonomi menjadi salah satu penyebab utama menurunnya daya beli. “Deflasi yang terjadi pada awal 2025 justru mencerminkan lemahnya permintaan domestik,” ujarnya seperti dikutip dari TIMES Malang.

Hal senada diungkapkan analis ekonomi politik LAB 45, Nadia Restu Utami, yang menyebutkan bahwa indikator ekonomi secara umum menunjukkan tekanan konsumsi. “Indeks Keyakinan Konsumen yang melemah, inflasi rendah bahkan sempat deflasi, hingga penurunan jumlah pemudik sampai 24 persen, semua mengarah ke satu hal: daya beli masyarakat sedang lemah,” kata Nadia seperti dikutip dari MetroTV News, Juni 2025.

Faktor lain yang menekan konsumsi adalah inflasi pangan yang belum juga reda. BPS mencatat inflasi tahunan pada Juni 2025 mencapai 3,38 persen, dengan kelompok makanan-minuman menjadi penyumbang terbesar. “Saya biasa beli dua liter minyak goreng untuk warung, sekarang cuma bisa satu liter. Harganya naik terus, tapi yang beli malah makin dikit,” keluh Rina, pemilik warung makan di Bekasi.

Naiknya harga tak dibarengi peningkatan pendapatan. Banyak warga, terutama kelas menengah bawah, kini harus memilih antara kebutuhan makan harian atau membayar cicilan. Bahkan menurut survei Inventure dan TIMES Malang, sebanyak 67 persen kelompok aspiring middle class mengaku telah menurunkan konsumsi harian karena pendapatan stagnan dan biaya hidup meningkat.

Dalam struktur ekonomi informal seperti Indonesia, lesunya belanja masyarakat memberi efek domino langsung ke pedagang kecil dan UMKM. Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), Ngadiran, mengakui banyak anggotanya yang mengeluh soal omzet yang anjlok sejak awal kuartal kedua 2025. “Biasanya jelang tahun ajaran baru ada kenaikan pembelian alat tulis atau seragam, sekarang justru sepi. Ini tidak normal,” kata Ngadiran. Menurut survei APPSI terbaru, 65 persen pedagang pasar melaporkan penurunan omzet lebih dari 30 persen dalam tiga bulan terakhir, dengan alasan utama pembeli menurun dan barang kebutuhan pokok semakin mahal.

Di tengah situasi ini, pemerintah diminta hadir lebih konkret. Penyaluran bantuan sosial dianggap belum cukup merata, sementara subsidi bahan pokok belum menjangkau semua lini. Kelompok buruh dan pelaku UMKM bahkan sempat mendesak pemerintah agar segera mengambil langkah taktis untuk mengangkat daya beli, seperti dilaporkan KBR.ID pada awal tahun.

Kementerian Koperasi dan UKM mengklaim sudah menyalurkan sejumlah program pemulihan, seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan digitalisasi UMKM. Namun, menurut pengamat, kebijakan tersebut belum menyentuh akar persoalan, yakni lemahnya permintaan masyarakat.

Yanto, pedagang sembako di Kebayoran, hanya bisa berharap dagangannya kembali ramai. Ia tidak mau bergantung pada bantuan. “Kami cuma mau dagang normal seperti dulu. Ada pembeli, ada pemasukan. Sekarang sih… malah kadang mikir, apa cuma saya yang ngerasa begini?”

(Red/Vendetta)

Next article Next Post
Previous article Previous Post

Advertisement

Jasa Pembuatan Website Berita Online

Advertisement

Jasa Pembuatan Website Berita Online