SHARE YA KAK!, China — Han Rubing tidak pernah membayangkan momen itu akan datang secepat ini. Saat Festival Tahun Baru Imlek lalu, ia duduk di depan layar menonton siaran TV yang biasanya dibawakannya sendiri. Tapi kali ini, enam avatar digital yang sempurna mengisi layar, membaca berita tanpa cela, tanpa jeda, tanpa kesalahan. Semuanya adalah penyiar berbasis AI.
Awalnya, Han mengira itu hanya cara praktis agar tim penyiar bisa libur saat perayaan. Tapi beberapa minggu kemudian, stasiun TV tempat ia bekerja mengumumkan hal mengejutkan: ke depan, sebagian besar program akan dipandu oleh penyiar virtual. Permanen.
Dan Han bukan satu-satunya yang mengalami itu.
Menurut laporan Sixth Tone, tren ini tengah menyebar cepat di berbagai stasiun TV di China, baik nasional seperti CCTV maupun regional. Pemerintah China sendiri sejak 2021 telah mendorong integrasi teknologi digital, termasuk AI, ke industri penyiaran sebagai bagian dari modernisasi dan efisiensi.
AI memang menawarkan banyak keunggulan: tidak butuh istirahat, tidak pernah salah, tampil sempurna setiap saat, dan tentu saja, lebih murah. Penyiar digital bisa bekerja 24 jam nonstop, tanpa lelah, tanpa gaji, tanpa protes.
Namun di balik semua kepraktisan itu, muncul pertanyaan besar: apa yang tersisa untuk manusia?
Han kini mencoba beradaptasi. Ia mulai melatih diri melakukan wawancara langsung, memperkuat gaya personal, dan membangun spontanitas, sesuatu yang belum bisa ditiru AI. “AI itu alat bantu, bukan pengganti,” ujarnya, dikutip dari Sixth Tone.
Rekan-rekan seprofesinya pun mulai merasa hal serupa. Banyak dari mereka menyadari bahwa kehangatan, empati, dan ekspresi manusia masih tak tergantikan, terutama dalam siaran yang melibatkan emosi dan interaksi nyata.
Kampus-kampus penyiaran di China pun ikut berbenah. Kurikulum diperbarui, mahasiswa tak hanya diajarkan membaca berita, tapi juga dituntut menguasai kemampuan kreatif, seperti mengimprovisasi tanpa naskah, mengelola acara interaktif, bahkan memahami dasar teknologi AI.
Masuk ke universitas penyiaran terbaik di China bukan perkara mudah, tingkat penerimaannya hanya sekitar 1%. Tapi kini, tantangannya bukan hanya masuk, melainkan juga keluar dengan keterampilan yang mampu bersaing dengan mesin.
Beberapa mahasiswa bahkan mulai melirik karier alternatif di industri teknologi atau platform media digital. Namun banyak pula yang tetap optimis. Mereka percaya, penyiar manusia yang memiliki gaya, empati, dan kepribadian tetap punya tempat, terutama di acara-acara yang tak sekadar soal menyampaikan informasi, tapi menyentuh hati penonton.
AI mungkin bisa bicara dengan sempurna, tapi belum tentu bisa membuat orang merasa.
(Red/Vendetta)