SHARE YA KAK!, Jakarta – Pemerintah Indonesia kembali mencatatkan rekor baru dalam sejarah fiskal. Hingga April 2025, utang luar negeri Indonesia telah menembus angka USD 431,5 miliar atau setara dengan Rp 7.036 triliun. Angka yang mencengangkan ini membuat publik bertanya: apakah kemandirian ekonomi Indonesia mulai tergadaikan?
Kenaikan utang ini terjadi di tengah kondisi pendapatan negara yang cenderung stagnan. Pajak dari sektor industri manufaktur dan ekspor melemah, sementara belanja negara tetap tinggi untuk menutupi subsidi energi, bantuan sosial, serta pembayaran bunga utang.
“Struktur APBN kita sekarang mirip rumah tangga yang hidup dari kartu kredit. Ada pemasukan, tapi lebih banyak bayar cicilan,” ujar Ir. Termul Wowiek, pengamat ekonomi independen.
Menurut Termul, beban utang tidak hanya soal nominal, tetapi juga soal arah kebijakan. Ketika sebagian besar anggaran dialokasikan untuk membayar bunga dan cicilan, maka pembangunan menjadi mandek dan ketergantungan terhadap pembiayaan luar negeri makin menguat.
Kuartal II 2025 menjadi ujian besar. Sejumlah surat utang pemerintah jatuh tempo, dan sebagian dibayar melalui penerbitan utang baru atau pinjaman bilateral. Ini yang disebut sebagai refinancing spiral — di mana utang dibayar dengan utang.
Bank Indonesia merilis bahwa meskipun rasio utang terhadap PDB masih di kisaran 30,3%, yang disebut “aman”, namun angka ini tak bisa jadi jaminan mutlak. Rasio itu bisa naik cepat jika pertumbuhan ekonomi melemah atau rupiah terus tertekan terhadap dolar AS.
“Kita tidak bicara bangkrut, tapi kita bicara soal ruang fiskal yang makin sempit. Kalau suatu negara tidak bisa mengambil keputusan tanpa izin pemberi utang, maka itulah definisi tergadaikan secara kebijakan,” jelas Termul lagi.
Dampak dari utang tidak selalu terasa dalam bentuk pajak langsung. Namun, rakyat mulai merasakannya lewat kenaikan tarif listrik, harga BBM nonsubsidi, dan minimnya proyek baru yang menyentuh kebutuhan dasar.
“Utang itu bukan masalah kalau produktif. Tapi saat digunakan untuk menutup defisit rutin dan bayar bunga, maka kita sedang memindahkan beban ke anak cucu,” tambah Termul.
Pemerintah menyatakan masih menjaga kehati-hatian fiskal. Namun, tanpa reformasi pajak yang lebih progresif dan efisiensi belanja negara, maka utang berpotensi terus membengkak.
Pertanyaannya kini: sampai kapan kita membayar untuk sesuatu yang belum kita nikmati?
Utang negara sejatinya adalah alat. Tapi jika alat itu tak dikendalikan dengan bijak, maka ia bisa menjadi jerat. Maka pertanyaan “Apakah Indonesia tergadaikan?” bukan lagi retorika — tetapi refleksi untuk semua pihak.
(Red/Vendetta)