SHARE YA KAK!, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengungkap praktik dugaan korupsi berjamaah di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker). Skandal ini menyeret delapan orang tersangka dan melibatkan dana pemerasan yang ditaksir mencapai Rp 58 miliar, yang dikumpulkan lewat pengurusan perizinan Tenaga Kerja Asing (TKA) sejak tahun 2019.
Dalam konferensi pers terbaru, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebutkan bahwa modus yang digunakan adalah dengan meminta sejumlah uang kepada perusahaan pengguna TKA untuk mempercepat dan memuluskan proses penerbitan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA). Padahal, proses tersebut seharusnya gratis dan transparan.
"Para pelaku menghubungi pihak perusahaan dan menawarkan 'bantuan' agar izin lebih cepat keluar, tentunya dengan imbalan tertentu. Praktik ini berlangsung sejak 2019," ujar Alexander dalam keterangannya di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (10/6/2025).
Pemanggilan Mantan Sekjen Kemenaker
Pada Selasa (11/6/2025), KPK memanggil mantan Sekjen Kemenaker sekaligus eks Direktur Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA), Heri Sudarmanto, sebagai saksi dalam penyidikan kasus ini. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendalami aliran dana serta siapa saja yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan terkait perizinan TKA.
Selain Heri, beberapa pejabat aktif dan pensiunan Kemenaker juga turut diperiksa, termasuk pejabat di Direktorat Jenderal Binapenta dan PKK serta pihak kontraktor yang diduga menjadi perantara aliran dana haram tersebut.
Sebagian Uang Sudah Dikembalikan
Juru Bicara KPK, Ali Fikri, menyampaikan bahwa beberapa pihak yang diduga terlibat sudah mulai mengembalikan uang hasil pemerasan. Sejauh ini, total dana yang dikembalikan ke negara mencapai Rp 5 miliar, meski jumlah total dugaan korupsi lebih dari Rp 58 miliar.
“Tindakan pengembalian uang ini akan menjadi salah satu pertimbangan dalam proses hukum, apakah mereka bisa mendapatkan keringanan atau tidak,” ungkap Ali.
Peringatan Sejak 2012
Yang mengejutkan, KPK mengungkap bahwa dugaan praktik gratifikasi dan pemerasan dalam pengurusan TKA ini sudah pernah disoroti sejak 2012. Saat itu, KPK telah memberikan kajian dan peringatan risiko korupsi di sektor perizinan tenaga kerja asing. Namun, perbaikan sistem tak kunjung dilakukan.
"Sejak 2012, sudah ada warning dari KPK soal potensi gratifikasi di sektor ini. Tapi sayangnya tidak ditindaklanjuti secara serius," ujar Alexander.
Dampak Terhadap Citra Indonesia
KPK mengkhawatirkan bahwa kasus ini bisa berdampak negatif terhadap peringkat Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia. Praktik pungutan liar dan pemerasan dalam sektor pelayanan publik seperti perizinan TKA dinilai dapat menurunkan kepercayaan investor asing dan publik internasional terhadap tata kelola pemerintahan Indonesia.
Sumber: DTK, TMP
(Red/Vendetta)