SHARE YA KAK!, Jakarta — Fenomena gagal bayar pinjaman online atau galbay semakin meluas. Di media sosial, bermunculan grup-grup dengan ribuan anggota yang saling berbagi cara untuk melepaskan diri dari jerat utang digital. Bagi sebagian orang, keputusan untuk tidak membayar cicilan bukanlah tindakan kriminal, melainkan respons atas tekanan ekonomi yang tak tertahankan.
Dalam laporan BBC News Indonesia pada Rabu (18/06), disebutkan bahwa berbagai grup bertema galbay aktif di Facebook maupun Telegram. Dalam salah satu unggahan, seorang pengguna menyatakan bahwa dirinya sudah sangat lelah hidup dari utang ke utang. Ungkapan seperti “sudah capek gali lubang tutup lubang” sering kali muncul dan dibalas dengan saran untuk menghadapi penagih utang, bahkan dorongan agar tidak takut diteror.
Salah satu warga bernama Febri, yang tinggal di Padang, Sumatra Barat, menyampaikan bahwa dirinya memutuskan berhenti membayar utang setelah merasa terbebani oleh denda dan bunga yang terus membengkak. Masih dikutip dari BBC News Indonesia, Febri awalnya hanya berutang Rp3,6 juta di satu aplikasi dan beberapa ratus ribu di dua aplikasi lainnya. Namun, keterlambatan pembayaran membuat tagihan meningkat drastis, dan ia tidak lagi sanggup menutupnya.
Febri juga mengungkapkan bahwa selama masa gagal bayar, ia kerap ditelepon oleh pihak penagih. Meskipun tidak menerima ancaman langsung, ia pernah mendapat kiriman foto lokasi tempat tinggalnya dan batas waktu pelunasan yang sangat pendek. Dalam laporan yang sama, disebutkan bahwa Febri sempat secara otomatis dimasukkan ke grup Telegram bertema galbay, di mana berbagai tips dibagikan—termasuk informasi yang menyebut bahwa gagal bayar bukan ranah pidana.
Warga lain bernama Rohmen dari Semarang juga mengalami hal serupa. Ia mengaku mulai meminjam uang melalui aplikasi legal maupun ilegal untuk kebutuhan keluarga dan modal usaha. Namun, saat permohonan pinjaman baru ditolak dan tagihan lama belum lunas, ia memilih berhenti membayar. Seperti dikutip BBC News Indonesia, Rohmen sempat mendapat ancaman akan didatangi ke tempat kerja, namun hal itu tidak terjadi. Kini, ia mengaku tidak lagi mendapat teror.
Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Entjik S. Djafar, menilai tren galbay yang tersebar di media sosial sebagai bentuk pelanggaran hukum perdata. Dalam keterangannya kepada BBC News Indonesia, ia menyebut bahwa fenomena ini seperti ajakan massal untuk tidak membayar pinjaman. Ia juga mengungkap bahwa lebih dari 50 persen peminjam menggunakan uang dari pinjol untuk kebutuhan pokok seperti makan dan transportasi. Dalam banyak kasus, kata dia, gaji bulanan sudah habis di pertengahan bulan, dan pinjaman online dijadikan penyambung hidup.
Entjik menambahkan, restrukturisasi dapat menjadi solusi yang sah jika debitur memang kesulitan membayar. Ia menjelaskan bahwa AFPI memiliki kanal pengaduan bernama “Jendela” yang dapat membantu mediasi antara peminjam dan penyedia pinjaman, asalkan pihak peminjam menggunakan aplikasi legal dan memiliki bukti valid bahwa mereka benar-benar tidak mampu melunasi. Masih dalam laporan BBC News Indonesia, Entjik menekankan bahwa proses restrukturisasi hanya dapat dilakukan bila peminjam terkena kondisi khusus, seperti pemutusan hubungan kerja atau musibah keluarga.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam pernyataan tertulis yang dikutip BBC News Indonesia, mengimbau masyarakat agar lebih bijak dalam menggunakan pinjaman daring. OJK mengingatkan pentingnya mempertimbangkan kemampuan bayar sebelum mengakses dana dari penyelenggara platform pinjaman digital. Regulator juga meminta perusahaan pinjol untuk memperkuat manajemen risiko dan menolak permohonan dari debitur yang sudah terdaftar di lebih dari tiga aplikasi.
Mulai 31 Juli 2025, OJK mewajibkan seluruh penyelenggara pinjaman online untuk menjadi pelapor dalam sistem SLIK (Sistem Layanan Informasi Keuangan). Menurut pernyataan OJK, sistem ini bertujuan untuk memberikan data yang lebih akurat kepada lembaga keuangan dalam menilai kelayakan calon debitur, serta untuk mencegah meningkatnya angka gagal bayar.
Ekonom Muhammad Andri Perdana dari Bright Institute mengatakan kepada BBC News Indonesia bahwa fenomena galbay muncul sebagai respons dari tekanan ekonomi yang akut. Ia menyebut terbentuknya komunitas-komunitas galbay sebagai bentuk rasionalisasi kolektif dari masyarakat yang merasa tidak memiliki jalan keluar. Ia menambahkan bahwa perilaku gagal bayar mulai meningkat sejak pandemi COVID-19 dan tetap bertahan karena kondisi ekonomi belum sepenuhnya pulih.
Dalam laporan yang sama, Andri menjelaskan bahwa sebagian besar warga sebenarnya tidak ingin gagal bayar, namun terpaksa melakukannya sebagai bentuk bertahan hidup. Data dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebutkan bahwa lebih dari 70 ribu orang kehilangan pekerjaan hanya dalam tiga bulan pertama 2025, memperparah situasi keuangan masyarakat kelas menengah ke bawah.
Sementara itu, AFPI mengingatkan bahwa gagal bayar membawa konsekuensi serius. Pertama, peminjam akan masuk daftar hitam di sistem SLIK sehingga sulit mengakses kredit formal. Kedua, bunga dan denda terus berjalan. OJK menetapkan batas bunga maksimum 0,4 persen per hari dan denda maksimal 100 persen dari pokok pinjaman. Ketiga, penagihan akan terus dilakukan melalui berbagai saluran, termasuk telepon, SMS, email, dan bahkan kunjungan langsung oleh debt collector.
Dalam situs resminya, AFPI menyebutkan bahwa tekanan akibat penagihan dapat berdampak pada kondisi psikologis peminjam. “Ini membuat Anda khawatir, tidak bisa tidur dan stres,” tulis pernyataan yang dikutip BBC News Indonesia.
Fenomena galbay kini bukan lagi sekadar gejala individu yang menunggak utang, melainkan sebuah gerakan sosial yang muncul di tengah krisis ekonomi. Di sisi lain, regulator dan asosiasi penyelenggara jasa keuangan berusaha mengingatkan risiko yang menanti, baik dalam bentuk sanksi administratif maupun tekanan mental yang berkepanjangan. Di tengah kegamangan ini, satu hal yang pasti: masyarakat rentan kini berada di pusaran utang yang tidak mudah diselesaikan hanya dengan satu klik di aplikasi.
Sumber utama kutipan dan data:
BBC News Indonesia, “Fenomena gagal bayar pinjol – 'Sudah lelah gali lubang, tutup lubang'”, terbit 18 Juni 2025
(Red/Vendetta)