SHARE YA KAK!, Jakarta – Menjelang dimulainya tahun ajaran baru 2025/2026, penyaluran pinjaman online (pinjol) melonjak tajam. Kebutuhan biaya pendidikan yang meningkat setiap pertengahan tahun diduga menjadi pemicunya. Fenomena ini memperlihatkan tekanan ekonomi yang masih dirasakan oleh banyak keluarga, terutama kalangan menengah ke bawah, dalam menghadapi pengeluaran pendidikan anak.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan total penyaluran pinjaman melalui fintech peer-to-peer (P2P) lending pada Mei 2025 mencapai Rp62,4 triliun, naik sekitar 13,5 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Angka ini juga lebih tinggi 21 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Lonjakan ini secara historis selalu terjadi menjelang tahun ajaran baru maupun akhir tahun saat kebutuhan konsumsi rumah tangga membengkak.
“Kenaikan pinjaman online di periode menjelang tahun ajaran baru merupakan tren musiman yang sudah terpantau sejak tiga tahun terakhir,” ujar Friderica Widyasari Dewi, Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto OJK.
Di tengah tekanan ekonomi yang belum pulih sepenuhnya, orangtua murid mencari solusi instan untuk menutupi kebutuhan mendesak: seragam sekolah, buku pelajaran, hingga uang daftar ulang. Proses pengajuan yang cepat dan mudah membuat layanan pinjol menjadi pilihan utama. Namun, konsekuensi bunga tinggi dan risiko gagal bayar kerap tak dipikirkan sejak awal.
Rina (39), seorang ibu rumah tangga di Bekasi, mengaku menggunakan dua aplikasi pinjol sekaligus demi membiayai kebutuhan sekolah anaknya yang masuk SMP tahun ini. Ia meminjam Rp3,5 juta dengan tenor enam bulan, dan harus membayar cicilan hampir Rp700 ribu per bulan. “Daripada anak saya malu tidak punya seragam baru, saya pinjam dulu. Soal bayar nanti dipikir belakangan,” ujarnya.
Fenomena seperti Rina bukan hal baru. Survei Indikator Politik Indonesia pada April 2025 menyebutkan bahwa 18,7 persen keluarga di Indonesia pernah menggunakan layanan pinjaman online untuk kebutuhan pendidikan. Mayoritas responden menyatakan alasan utama mereka adalah tidak memiliki tabungan atau akses kredit dari bank.
Yusuf Rendy Manilet, ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, menilai bahwa lonjakan pinjaman online saat momen pendidikan mencerminkan lemahnya struktur ekonomi rumah tangga. Menurutnya, banyak keluarga di Indonesia tidak mampu melakukan perencanaan keuangan jangka menengah, apalagi jangka panjang. “Ini bukan sekadar soal pinjol, tapi sinyal bahwa kemampuan masyarakat untuk menabung dan mengelola pendapatan masih sangat terbatas,” kata Yusuf.
Kondisi tersebut diperburuk oleh fakta bahwa biaya pendidikan di Indonesia terus mengalami inflasi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi sektor pendidikan per Mei 2025 mencapai 4,13 persen secara tahunan (year-on-year), lebih tinggi dibanding inflasi umum yang tercatat 2,8 persen. Kenaikan signifikan terjadi terutama di jenjang sekolah dasar dan menengah swasta.
Di saat yang sama, indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia masih berada di angka 49,7 persen, menurut survei nasional OJK tahun 2024. Artinya, hampir separuh penduduk belum memahami produk dan risiko keuangan secara memadai, meski tingkat inklusi keuangan sudah mencapai 85 persen. Ketimpangan ini membuka celah risiko besar ketika masyarakat memanfaatkan layanan finansial digital tanpa edukasi cukup.
OJK mencatat bahwa rasio kredit macet atau tingkat wanprestasi di atas 90 hari (TWP90) untuk pinjaman online pada Mei 2025 mencapai 2,96 persen, meningkat dari bulan sebelumnya. Sebagian besar kredit bermasalah berasal dari kelompok individu dengan pinjaman kecil di bawah Rp10 juta. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat pengguna pinjol rentan masuk dalam siklus utang yang membelit.
Pakar psikologi sosial independen, Ir. Termul Wowiek, menyebut bahwa keputusan orangtua untuk berutang demi pendidikan anak tidak semata-mata soal finansial, tapi juga tekanan sosial dan emosional. “Ada perasaan gagal atau malu jika tidak bisa memenuhi standar sosial tertentu. Padahal, beban ini bisa berdampak psikologis cukup dalam, apalagi jika utang tidak bisa dibayar,” ujarnya.
Sejumlah kalangan mendesak pemerintah hadir lebih nyata dalam membantu keluarga berpendapatan rendah menghadapi tahun ajaran baru. Program bantuan pendidikan seperti Program Indonesia Pintar (PIP) dan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dinilai belum menjangkau seluruh kebutuhan faktual siswa di lapangan, terutama untuk sekolah swasta dan keperluan penunjang.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, menegaskan pentingnya peran negara dalam menjamin akses pendidikan yang layak tanpa membebani keluarga. “Jangan sampai pendidikan menjadi ladang komersialisasi fintech karena negara absen. Ini hak warga negara, bukan sekadar pasar,” kata Tulus.
Jika tidak segera diintervensi, pola konsumsi berbasis utang musiman seperti ini dapat memicu krisis keuangan mikro di level rumah tangga. Kebutuhan pendidikan seharusnya menjadi prioritas jangka panjang, bukan hanya beban jangka pendek yang harus dibayar dengan bunga.
(Red/Vendetta)