Jasa Website Berita Online

Gawat! Utang RI Terancam Tembus 42% PDB, Pemerintah Dinilai Makin Ugal-ugalan Ngutang

author photo Selasa, Juni 24, 2025



SHARE YA KAK!, JAKARTA – Sinyal bahaya terhadap kondisi fiskal Indonesia mulai berkedip. Dua lembaga keuangan internasional, ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) dan Bank Dunia, kompak memberi peringatan soal potensi melonjaknya rasio utang pemerintah Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Proyeksi mereka menyebutkan bahwa rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia bisa menembus angka 42 persen, jauh melampaui target pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029 yang hanya 39,15 persen.

Dalam laporan terbarunya yang dirilis pada Senin, 23 Juni 2025, AMRO menyebutkan bahwa strategi fiskal pemerintah memang mengarah pada penurunan defisit, dari 2,5 persen PDB pada 2025 ke kisaran 2,1 hingga 2,3 persen pada 2029. Namun, mereka menekankan bahwa proyeksi itu belum mempertimbangkan kebijakan-kebijakan baru dari pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto, yang berpotensi mengubah arah fiskal secara signifikan.

“Staf AMRO memperkirakan bahwa utang pemerintah dalam jangka menengah dapat mencapai 42 persen dari PDB,” tulis lembaga yang bermarkas di Singapura itu. Menurut mereka, tekanan terbesar datang dari dua sisi: defisit primer yang meningkat dan biaya pinjaman (borrowing cost) yang makin mahal, di tengah suku bunga global yang masih tinggi.

Sementara itu, laporan Bank Dunia yang dikutip dari sejumlah sumber pada Rabu, 30 April 2025, mencatat bahwa rasio utang Indonesia pada 2025 diperkirakan mencapai 40,1 persen dari PDB, dan bisa naik menjadi 41,4 persen pada 2027. Angka ini dianggap mengkhawatirkan karena tidak hanya melampaui target RPJMN, tapi juga mendekati ambang batas kewaspadaan fiskal nasional.

Bank Dunia juga menyoroti strategi pemerintah dalam menutupi defisit anggaran, yakni dengan terus menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN). Tahun ini, beban pembayaran utang—termasuk bunga—bahkan mencapai Rp1.352 triliun, atau sekitar 37 persen dari total belanja dalam APBN 2025.

"Indonesia makin bergantung pada utang untuk menambal defisit, padahal penerimaan pajak justru melemah," tulis Bank Dunia dalam laporannya. Data terakhir menunjukkan, hingga Maret 2025, penerimaan pajak baru mencapai Rp322,6 triliun, atau 14,7 persen dari target, dan turun 18,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kondisi ini memicu kekhawatiran tentang menurunnya kapasitas fiskal pemerintah dalam jangka panjang.

Di sisi lain, pemerintah tengah mendorong reformasi penerimaan negara melalui implementasi Core Tax Administration System (CTAS) guna meningkatkan rasio pendapatan negara ke kisaran 12,7–13,7 persen PDB pada 2029. Namun, langkah tersebut dinilai belum cukup untuk menutup gap pembiayaan akibat membengkaknya belanja.

Sejumlah program ambisius dari pemerintahan Prabowo-Gibran juga menjadi sorotan. Mulai dari program makan siang gratis, ketahanan pangan, hingga peningkatan anggaran pertahanan, semuanya membutuhkan alokasi dana jumbo. Tanpa pengendalian yang ketat, pengamat fiskal menilai konsolidasi anggaran akan semakin sulit dilakukan.

Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan ekonom dan pelaku pasar. “Pemerintah harus berhati-hati agar tidak mengulang krisis keuangan masa lalu. Rasio utang boleh saja naik, asal diimbangi dengan kemampuan bayar yang sehat dan penerimaan negara yang stabil,” ujar seorang ekonom dari lembaga think tank independen, yang enggan disebutkan namanya.

Hingga kini, pemerintah belum memberikan respons resmi terhadap peringatan dari AMRO dan Bank Dunia. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya sempat menyatakan bahwa konsolidasi fiskal tetap menjadi komitmen utama pemerintah, termasuk dengan menekan belanja tidak produktif dan mendorong kepatuhan pajak.

Kendati demikian, tekanan politik menjelang transisi kekuasaan ke pemerintahan baru membuat arah kebijakan fiskal berpotensi berubah. Pemerintah baru akan dihadapkan pada dilema antara memenuhi janji kampanye dan menjaga stabilitas anggaran.

“Kalau utang naik terus, tapi pendapatan stagnan, bukan tidak mungkin kita menuju krisis utang struktural,” ujar seorang analis fiskal senior.

(Red/Vendetta)

Next article Next Post
Previous article Previous Post

Advertisement

Jasa Pembuatan Website Berita Online

Advertisement

Jasa Pembuatan Website Berita Online