SHARE YA KAK!, Jakarta — Industri pinjaman online (pinjol) berbasis fintech peer-to-peer (P2P lending) kembali diuji di awal tahun 2025. Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan kredit macet dari peminjam badan usaha melonjak tajam. Per Maret 2025, nilai tunggakan pinjaman lebih dari 90 hari mencapai Rp849,24 miliar—naik 85,9% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Sebaliknya, pinjaman macet dari peminjam perseorangan justru turun drastis. Angkanya terpangkas hingga 41,4% year on year, dari Rp1,37 triliun pada Maret 2024 menjadi Rp803,88 miliar di kuartal I/2025. Kondisi ini mencerminkan adanya pergeseran preferensi dan risiko di industri P2P lending.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai bahwa lonjakan kredit macet dari sektor badan usaha disebabkan oleh penurunan kinerja ekonomi sektoral, terutama perdagangan. “Sektor perdagangan mengalami tekanan yang cukup signifikan dari penurunan daya beli,” ujarnya. Ia menjelaskan bahwa sebagian besar pembiayaan ke badan usaha melalui pinjol memang menyasar sektor ini. Ketika perdagangan tertekan, kemampuan bayar juga ikut terganggu.
Huda juga menyoroti perubahan perilaku lender. Menurutnya, pemberi pinjaman kini lebih hati-hati dalam menyalurkan dana ke badan usaha karena risiko gagal bayarnya semakin tinggi. “Artinya, lender akan mempunyai perhatian yang tinggi akan gagal bayar yang terjadi di borrower badan usaha. Lender akan memilih borrower perorangan di mana bunga manfaatnya lebih tinggi, gagal bayarnya relatif lebih rendah juga,” katanya.
Untuk memperbaiki kualitas penyaluran pinjaman produktif, Huda menyarankan adanya perbaikan dari sisi credit scoring dan perlindungan risiko. “Bagi sektor produktif diberikan opsi penambahan asuransi sebagai bagian penilaian kredit. Agar lender melihat sektor produktif yang mempunyai asuransi bisa lebih terjamin,” jelasnya. Ia menambahkan bahwa penilaian juga perlu mempertimbangkan analisis sektor ekonomi peminjam.
Meski industri P2P lending terus didorong untuk menyalurkan lebih banyak pembiayaan ke sektor produktif, tantangannya tidak kecil. Hingga April 2025, porsi pembiayaan produktif dan/atau UMKM baru mencapai 35,38% atau sekitar Rp28,63 triliun dari total pinjaman yang disalurkan industri. Padahal, targetnya adalah 50–70% pada tahun 2028.
Di tengah ambisi memperbesar porsi pembiayaan produktif, kejadian ini menjadi peringatan penting bahwa kualitas kredit dan ketahanan sektor usaha harus menjadi perhatian utama. Tanpa kepercayaan dari lender, upaya mendorong pinjaman produktif bisa terhambat di tengah meningkatnya risiko gagal bayar.
(Red/Vendetta)