SHARE YA KAK! — Jakarta, Miris rasanya mendengar kisah Sri Wahyuni (32), seorang ibu rumah tangga di Bekasi. Setiap pagi, ia harus menahan rasa malu saat nomor teleponnya dihubungi penagih pinjaman online. Ia tahu risikonya, tapi apa daya, gaji suami sebagai buruh pabrik hanya cukup untuk bayar kontrakan dan listrik.
"Kalau nggak pinjam, saya nggak bisa beliin beras sama susu anak. Kadang pinjam ke tetangga juga nggak enak, jadi pinjol aja. Bunga besar, tapi mau gimana lagi…", tuturnya dengan suara serak.
Kisah Sri bukan satu-satunya. Data menunjukkan lebih dari 36% warga Indonesia menggunakan pinjaman online hanya untuk kebutuhan sehari-hari, mulai dari belanja bahan pokok, membayar uang sekolah anak, hingga menutup utang lama.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat total akumulasi penyaluran pinjaman online di Indonesia kini sudah tembus Rp 700 triliun sejak pertama kali diresmikan beberapa tahun lalu. Sementara itu, total utang rumah tangga nasional, termasuk cicilan rumah dan konsumsi, membengkak hingga lebih dari Rp 2.100 triliun.
Di Yogyakarta, Siti Maryam (28) juga punya cerita serupa. Ia harus meminjam uang dari dua aplikasi pinjaman berbeda setiap bulan hanya untuk membeli beras, gas elpiji, dan susu formula untuk anaknya. "Kalau enggak begitu, anak makan apa? Gaji suami dipotong angsuran motor, sisanya nggak cukup," kata Maryam sambil menggendong anak bungsunya.
Praktik gali lubang tutup lubang sudah menjadi jalan sunyi bagi banyak ibu rumah tangga. Mereka rela menanggung tekanan mental, risiko penagihan kasar, hingga ancaman sebar data pribadi ke kerabat.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat harga beras masih tinggi hingga pertengahan tahun ini, sementara upah minimum rata-rata hanya naik tipis di banyak daerah. Daya beli masyarakat kelas bawah makin tertekan. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang menjadi penopang ekonomi nasional pun hanya tumbuh 4,9% di kuartal pertama 2025, turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Artinya, makin banyak keluarga terpaksa menahan belanja karena penghasilan yang tak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Menurut seorang pakar ekonomi independen, fenomena utang konsumtif untuk kebutuhan pokok adalah sinyal bahaya yang serius. "Kalau masyarakat harus berutang hanya untuk makan, ini tanda jaring pengaman sosial kita belum cukup kuat. Pinjaman seharusnya untuk produktivitas, bukan untuk bertahan hidup," ujarnya.
Pemerintah memang terus berupaya menyalurkan bantuan sosial dan memperketat pengawasan pinjaman online ilegal. Namun banyak keluarga seperti Sri dan Maryam tetap luput dari pendataan penerima bansos. Lembaga perlindungan konsumen pun mengingatkan masyarakat agar lebih berhati-hati dalam menggunakan pinjaman daring, sembari mendesak agar literasi keuangan diperkuat, terutama di kalangan ibu rumah tangga.
Bagi jutaan ibu rumah tangga di Indonesia, pilihan hidup hari ini bukan lagi soal menabung atau berinvestasi, tetapi sederhana: hari ini makan apa? Mereka berperang dengan bunga pinjaman, penagihan hutang, dan tekanan mental—semua demi memastikan anak-anak mereka tidak kelaparan. Miris, namun inilah potret nyata sebagian rakyat di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini.
Referensi:
Data CEIC pada Januari 2025 mencatat utang rumah tangga indonesia mencapai USD 135,2 miliar (± Rp 2.028 triliun) link
(Red/Vendetta)