SHARE YA KAK!, Jakarta — Jika Anda tinggal di wilayah Sumatera Barat, Banten, atau Jakarta, dan kerap membuka Google Discover di ponsel, kemungkinan besar Anda pernah menjumpai berita megathrust dari CNBC Indonesia. Hampir setiap hari, berita tentang potensi gempa besar dan tsunami bermunculan. Judul-judulnya mencolok dan kerap mengundang kekhawatiran. Dari ancaman tsunami yang bisa melanda selatan Jawa hingga simulasi bencana di pantai barat Sumatra, isu megathrust kini seolah menjadi sajian tetap di media ekonomi itu.
Fenomena ini memicu pertanyaan. Mengapa isu megathrust begitu sering diangkat? Apakah ada bahaya yang benar-benar mengintai? Atau ini hanya strategi media memanfaatkan ketertarikan publik terhadap isu bencana?
Dalam pelacakannya, hampir seluruh berita megathrust di CNBC Indonesia merujuk pada pernyataan resmi dari BMKG atau analisis para pakar geofisika. Beberapa di antaranya bahkan mengutip langsung Kepala Pusat Gempa BMKG, Daryono. Salah satu pernyataannya menyebutkan bahwa wilayah selatan Jawa, Lampung, hingga Mentawai memang berada di jalur rawan zona megathrust yang dapat memicu gempa berkekuatan besar disertai tsunami. Peneliti dari BRIN seperti Danny Hilman Natawidjaja juga kerap disebutkan sebagai rujukan atas studi ilmiah seputar potensi gempa masa depan.
Namun, intensitas pemberitaan yang tinggi tetap memunculkan perdebatan. Sebagian pembaca menilai pola ini sebagai bentuk edukasi kebencanaan. Ada pula yang khawatir bahwa penyajian berita megathrust nyaris setiap hari justru menimbulkan kepanikan yang tidak perlu. Kecemasan bertambah ketika isi berita kadang tidak memuat peringatan baru, melainkan hanya mengulang riset atau simulasi yang pernah dipublikasikan bertahun-tahun lalu.
CNBC Indonesia sejatinya bukan media yang dikenal membahas bencana secara rutin. Namun dalam beberapa waktu terakhir, isu megathrust menjadi semacam poros baru. Di tengah gejolak ekonomi, perubahan iklim, dan ketegangan geopolitik, ancaman alam tetap menjadi magnet perhatian publik. Algoritma pun membaca pola ini. Ketika satu berita megathrust menjadi viral, sistem akan mendorong konten serupa untuk menjangkau lebih banyak pembaca, khususnya di wilayah yang dinilai rawan.
Tentu saja, tidak ada yang salah dengan mengangkat isu kebencanaan. Indonesia memang berada di jalur cincin api, dan literasi bencana masih rendah. Namun, cara menyajikan informasi itu yang menentukan. Apakah ditulis untuk meningkatkan kewaspadaan, atau sekadar memanfaatkan rasa takut publik demi klik?
BMKG sendiri menegaskan bahwa mereka tidak pernah mengeluarkan prediksi waktu terjadinya gempa besar. Yang mereka lakukan adalah pemetaan risiko berdasarkan kajian ilmiah, agar pemerintah dan masyarakat dapat bersiap. Sementara itu, pakar komunikasi kebencanaan mengingatkan bahwa penyampaian informasi tentang ancaman harus dibarengi dengan ajakan mitigasi, bukan hanya memperkuat bayangan kehancuran.
Megathrust memang nyata. Tapi ketakutan tak boleh jadi alat. Di tengah derasnya arus informasi, publik perlu dibekali dengan literasi, bukan hanya sensasi. Dan media punya peran penting di sana.
(Red/Vendetta)