Namun di tengah kemegahan rencana besar itu, muncul pertanyaan mendasar dari publik: seberapa mendesak sebenarnya pembentukan Danantara saat ini? Ketika rakyat sedang berjuang memenuhi kebutuhan dasar, pemerintah justru memilih fokus membangun lembaga investasi masa depan yang manfaatnya belum tentu dirasakan dalam waktu dekat.
Seorang pengamat ekonomi independen, yang enggan disebutkan namanya, menyatakan bahwa meski tujuan jangka panjang Danantara bisa dimaklumi, pemilihan waktunya sangat tidak sensitif terhadap kondisi rakyat saat ini.
"Kita tidak sedang berada di situasi ekonomi yang stabil. Penerimaan negara turun lebih dari 20% per Februari 2025. Penerimaan pajak jatuh hingga 30%. Masyarakat di lapangan kehilangan daya beli, angka pengangguran naik, dan utang rumah tangga melonjak. Dalam situasi seperti ini, membentuk lembaga baru dengan struktur besar jelas bukan prioritas," ujarnya saat diwawancarai.
Menurutnya, langkah yang lebih urgen adalah mempercepat program bantuan sosial langsung, memperkuat UMKM, serta menstimulasi lapangan kerja produktif. "Bukan berarti Danantara tidak penting, tapi bukan sekarang. Sekarang yang dibutuhkan adalah langkah nyata untuk membuat rakyat bisa makan, bekerja, dan hidup dengan layak."
Kritik ini semakin tajam ketika masyarakat disuguhi realitas yang jauh dari janji kesejahteraan. Di media sosial, viral kisah seorang ibu janda yang terpaksa mengajukan pinjaman Rp400 ribu ke koperasi keliling hanya untuk membeli beras. Saat disurvei oleh petugas, terlihat rumahnya bocor dan tak layak huni. Ia belum makan seharian, dan anak yang digendongnya sedang sakit. Kasur tempat ia beristirahat pun terlihat kumal dan rusak.
Kisah lain datang dari seorang nenek penjual kecil-kecilan yang hanya memiliki uang Rp7.000 ketika ditagih koperasi. Jualannya sepi, dan ia pun belum makan. Petugas koperasi akhirnya tak tega menagih karena kondisi yang menyayat hati. Ini bukan cerita satu-dua orang. Ini potret kemiskinan yang nyata, namun terabaikan di balik perencanaan makro yang penuh jargon dan teknokrasi.
Dalam situasi seperti ini, langkah korektif dari pemerintah menjadi sangat krusial. Pertama, perlu ada refocusing anggaran secara tegas untuk menyentuh kebutuhan dasar masyarakat. Program bantuan tunai langsung harus diperluas, bukan dipersempit. Kedua, pemerintah perlu mengerem proyek-proyek non-urgensi yang tidak memberi dampak langsung pada pemulihan ekonomi masyarakat bawah. Ketiga, pembentukan lembaga baru seperti Danantara harus dikaji ulang dalam konteks waktu dan prioritas.
"Selalu ada waktu untuk investasi jangka panjang, tapi tidak akan ada masa depan jika hari ini rakyatnya kelaparan," tutup pengamat tersebut.
Sementara Danantara mulai disusun dalam ruang-ruang rapat dan peraturan, jutaan rakyat Indonesia berharap mereka tidak harus terus berutang hanya untuk makan. Bukan narasi investasi yang mereka butuhkan, melainkan tindakan nyata.
(Red/Vendetta)