Jasa Website Berita Online

Pekerja Formal Dapat Subsidi, Lalu bagaimana Nasib Pekerja Informal?

author photo Minggu, Mei 25, 2025

Langkah pemerintah memberikan Bantuan Subsidi Upah (BSU) kepada pekerja formal pada awal juni 2025 ini tentu merupakan angin segar, kebijakan ini bisa menjadi penyelamat, terutama bagi buruh dan karyawan yang tengah berjuang menghadapi tekanan ekonomi. Tapi di balik kabar baik ini, ada satu kelompok besar yang tetap terdiam dalam bayang-bayang: para pekerja informal.

Mereka ada di mana-mana—pedagang kaki lima, penjual sayur keliling, buruh pasar, tukang cukur, hingga tukang tambal ban di pinggir jalan. Wajah-wajah yang akrab kita temui setiap hari, namun nyaris tak pernah masuk dalam skema perlindungan formal negara.

Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025 menyebutkan, jumlah pekerja informal di Indonesia mencapai sekitar 86,58 juta orang, atau 59,40% dari total penduduk yang bekerja. Ini bukan angka kecil. Justru merekalah mayoritas dalam struktur ketenagakerjaan Indonesia.

Bandingkan dengan data setahun sebelumnya, Februari 2024, di mana pekerja informal tercatat 84,13 juta orang atau 59,17% dari total pekerja. Artinya, dalam waktu satu tahun, jumlah pekerja informal bertambah lebih dari 2 juta orang. Kenaikan ini bukan tanpa sebab. Banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan formal atau tidak memiliki pilihan lain, akhirnya beralih ke sektor informal demi menyambung hidup.

Sayangnya, sebagian besar dari mereka tidak memiliki jaminan sosial. Menurut data BPJS Ketenagakerjaan, dari jutaan pekerja informal, hanya sekitar 9,5 juta orang yang tercatat sebagai peserta aktif per November 2024. Artinya, sekitar 90% lebih pekerja informal belum terlindungi jika mengalami risiko kerja seperti kecelakaan atau kehilangan pendapatan.

Di sinilah perhatian pemerintah perlu diperluas. Jika subsidi upah hanya menyasar pekerja formal, maka sebagian besar pelaku ekonomi rakyat tidak akan merasakan dampaknya. Padahal, kebutuhan hidup mereka sama mendesaknya, bahkan mungkin lebih berat karena tidak adanya penghasilan tetap dan perlindungan sosial.

Pekerja informal seringkali dianggap sulit disentuh karena tak memiliki data yang pasti atau terdaftar secara administratif. Tapi itu bukan alasan untuk membiarkan mereka berjalan sendiri. Pemerintah bisa mulai dari langkah-langkah sederhana: memperkuat pendataan berbasis RT/RW, menggandeng koperasi lokal, hingga membuat program inklusif yang tak hanya bergantung pada keanggotaan BPJS atau NIK yang valid.

Tak harus semuanya berbentuk bantuan tunai. Program pelatihan keterampilan, subsidi bahan baku, hingga akses mudah ke modal usaha mikro akan jauh lebih bermakna bagi mereka. Skema jaminan sosial khusus dengan iuran yang fleksibel dan berbasis komunitas juga patut dipertimbangkan.

Pekerja informal bukan beban. Mereka adalah pejuang ekonomi di level paling dasar, di jalanan, di pasar, di gang-gang sempit. Mereka menyambung hidup keluarga, menghidupkan pasar lokal, dan menjadi bagian penting dari denyut perekonomian nasional.

Jika mereka terus dilupakan, maka akan lahir ketimpangan baru: kelompok yang terlindungi dan kelompok yang terus bertahan tanpa perlindungan. Padahal keadilan sosial, seperti yang dijanjikan dalam konstitusi, seharusnya hadir untuk semua.

Sudah waktunya kita bicara soal kebijakan ketenagakerjaan yang tidak eksklusif. Yang tak hanya bicara soal angka-angka pertumbuhan dan tenaga kerja formal. Tapi juga mengakui bahwa sebagian besar tenaga produktif di negeri ini masih bekerja dalam sunyi, tanpa kepastian, dan tanpa jaring pengaman.

Karena itu, saat kita bicara tentang subsidi dan bantuan, mari jangan lupa menyebut mereka juga. Para pekerja informal yang saban hari mengais rezeki, bukan dengan janji, tapi dengan keringat di jalanan.

Penulis oleh: Yayan FR

(Red/Vendetta)

Next article Next Post
Previous article Previous Post

Advertisement

Jasa Pembuatan Website Berita Online

Advertisement

Jasa Pembuatan Website Berita Online