SHARE YA KAK!, Jakarta — Perekonomian Indonesia memasuki fase yang semakin mengkhawatirkan. Bukan hanya kelompok miskin, kini kelas menengah pun ikut terhimpit. Tabungan menipis, daya beli semakin anjlok, dan toko-toko mulai berguguran. Alarm bahaya semakin jelas berdentang: ancaman kemiskinan ekstrem kian nyata di depan mata.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi pada Februari 2025 sebesar 0,48 persen bulanan dan 0,09 persen tahunan. Namun, deflasi ini bukan kabar baik. “Penurunan harga kali ini justru pertanda pelemahan daya beli. Masyarakat menahan belanja karena uang makin tipis,” kata analis IDEAS seperti dikutip Ideas.or.id (12/3/2025).
Situasi kelas menengah mempertegas ancaman itu. Menurut Kontan (10/6/2025), meski ada gaji ke-13 dan perayaan Idul Adha, pertumbuhan konsumsi rumah tangga di kuartal II hanya bergerak di kisaran 4,79–4,89 persen. Uang tabungan yang selama ini jadi bantalan sudah terkuras habis. Dengan dompet kering, belanja rumah tangga mandek.
Dampaknya nyata di lapangan. Sejumlah usaha dan toko besar resmi menutup pintunya. GS Supermarket asal Korea Selatan menutup seluruh 10 gerainya di Indonesia pada Mei 2025 (CNN Indonesia, 10/5/2025). LuLu Hypermarket dan Giant lebih dulu angkat kaki. Industri tekstil terpukul keras setelah Sritex bangkrut pada Maret 2025 yang membuat lebih dari 10.000 pekerja kehilangan pekerjaan (Business & Human Rights Resource Centre, 2025). Pabrik elektronik Sanken Indonesia pun menyusul gulung tikar.
Tak hanya sektor ritel dan manufaktur, perbankan kecil juga ikut tumbang. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mencabut izin 21 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sepanjang 2024–awal 2025 karena gagal menyehatkan keuangannya (CNN Indonesia, 5/5/2025). Meski otoritas menjamin dana masyarakat aman lewat LPS, fakta banyaknya bank tutup menjadi sinyal kerapuhan ekonomi di tingkat akar rumput.
Para ekonom mengingatkan, jika stagnasi ekonomi ini dibiarkan hingga akhir 2025, konsekuensinya bisa serius: pengangguran naik hingga 5 persen sebagaimana diproyeksikan IMF, penerimaan pajak negara anjlok, dan kemiskinan ekstrem berpotensi kembali meningkat (Tempo, 5/6/2025). DPR RI juga mengingatkan dalam kajian awal tahun, kelompok rentan dapat jatuh kembali ke garis kemiskinan bila daya beli terus tertekan.
Lebih berbahaya lagi, krisis ekonomi selalu punya dampak sosial. Sejumlah pengamat menilai penurunan daya beli bisa memicu kenaikan kriminalitas. “Daya beli turun, masyarakat tak punya uang lagi. Ini alarm bahaya buat ekonomi Indonesia,” ujar seorang pengusaha kepada HotNyus.com.
Kondisi ini menunjukkan bahwa krisis bukan lagi ancaman jauh. Ia sudah mengetuk pintu. Jika pemerintah tidak segera menyalakan kembali mesin konsumsi, mendukung UMKM, serta memastikan perlindungan sosial berjalan efektif, maka “uang kering” di kalangan menengah akan menjadi pintu masuk kemiskinan ekstrem dan keresahan sosial yang lebih besar.
(Red/Vendetta)