SHARE YA KAK!, Cilegon — Dua kasus besar dalam dunia industri yang mengguncang Cilegon. Ini bukan soal investasi, melainkan desakan masyarakat terhadap proyek dan pekerjaan yang disampaikan lewat tekanan sosial. Dalam bayang-bayang ekonomi yang makin menekan, sejumlah kelompok warga menempuh jalan yang tak lagi prosedural. Pemerintah tak bisa terus menutup mata atas apa yang menjadi sebabnya.
Kasus pertama terjadi pada bulan mei kemarin dalam proyek pembangunan pabrik baterai mobil listrik milik PT Chandra Asri Alkali (CAA) senilai Rp15 triliun. Video pertemuan antara kontraktor asal Tiongkok dan tokoh lokal sempat viral karena memuat permintaan agar proyek diberikan kepada pengusaha lokal tanpa melalui mekanisme tender. Permintaan itu kemudian dikaitkan dengan seorang pengurus organisasi usaha yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan pemaksaan proyek.
Tak lama berselang, PT Lotte Chemical Indonesia (LCI) turut diguncang isu serupa. Pada 29 Oktober 2024 lalu, kelompok warga dari tiga kelurahan sekitar pabrik menggelar aksi demonstrasi yang berujung pada sweeping dan intimidasi terhadap pekerja proyek pengelolaan limbah. Sejak akhir Juni 2025 kemarin hingga berita ini diturunkan, Polda Banten secara bertahap menangkap sejumlah warga dengan sangkaan penghasutan, intimidasi, perusakan, serta tindakan yang dianggap mengganggu jalannya kegiatan usaha.
Kedua peristiwa itu memperlihatkan pola yang kian berulang: kelompok masyarakat menggunakan identitas forum warga, organisasi lokal, atau LSM untuk menuntut keterlibatan dalam proyek, dengan cara yang makin berani dan tidak melalui jalur formal. Dalam banyak kasus, tindakan semacam ini tak muncul secara tiba-tiba. Di balik desakan masyarakat, ada ketimpangan yang terus dipelihara: masalah ekonomi, minimnya akses terhadap pekerjaan, lemahnya keterlibatan warga lokal dalam proyek bernilai besar, dan sistem rekrutmen yang tertutup.
Sebagai kota industri, Cilegon semestinya menjadi ladang kesempatan kerja. Namun dalam praktiknya, proyek-proyek besar dikelola oleh kontraktor luar, sementara warga lokal merasa hanya menjadi penonton saja. Di tengah tekanan ekonomi dan keterbatasan skill, sebagian masyarakat membentuk kelompok sosial untuk memperjuangkan ruang mereka. Ketika jalur formal tak memberi solusi, aspirasi pun berubah menjadi tekanan.
Menurut Ir. Termul Wowik, pengamat ketenagakerjaan dan tata kelola industri daerah, gejala sosial ini tidak bisa semata-mata dilihat sebagai tindakan pelanggaran hukum, melainkan sebagai indikator bahwa negara gagal menciptakan akses ekonomi yang merata. “Kita terlalu lama berasumsi bahwa investasi otomatis menciptakan keadilan. Padahal, tanpa pengaturan yang adil, manfaat ekonomi seringkali tidak sampai ke warga sekitar,” ujar Termul, Selasa (1/7).
Ia menyebut bahwa masyarakat menempuh jalur informal karena ruang partisipasi ekonomi tidak pernah dibuka secara nyata. Dalam situasi itu, forum-forum warga berkembang sebagai respon terhadap realitas yang dirasa tidak adil. “Warga tidak melawan sistem, mereka bereaksi terhadap sistem yang tidak memberi tempat,” katanya.
Termul menegaskan, selama skema perekrutan tenaga kerja tetap tertutup dan alokasi proyek tidak transparan, ketegangan sosial semacam ini akan terus muncul, bahkan bisa menjadi gangguan serius bagi dunia usaha itu sendiri. “Warga tak sedang menuntut belas kasihan. Mereka hanya ingin menjadi bagian dari pembangunan di kota mereka sendiri,” ucapnya.
Secara ideal, organisasi masyarakat sipil, baik berupa LSM, forum warga, atau ormas berfungsi sebagai jembatan antara masyarakat dan negara. Namun dalam praktiknya, ketika keadilan ekonomi absen, demokrasi di tingkat lokal mengalami pergeseran. Partisipasi berubah menjadi tekanan, dan aspirasi bergeser menjadi tuntutan akses. Dalam ruang yang tak terkelola, sebagian kelompok berkembang menjadi alat negosiasi ekonomi yang tidak lagi mengedepankan prosedur, melainkan kekuatan sosial.
Di sinilah pemerintah semestinya hadir, bukan hanya sebagai penegak hukum, melainkan sebagai pengatur ruang partisipasi yang sehat. Bukan dengan diam, tapi dengan membina, mengatur, dan menjamin keterlibatan masyarakat secara adil dan setara.
Kasus PT CAA dan PT LCI adalah cerminan nyata bahwa ketimpangan dalam akses ekonomi bisa berubah menjadi tekanan sosial yang meletup sewaktu-waktu. Penangkapan boleh dilakukan, proses hukum tetap harus berjalan. Tapi pertanyaannya: sampai kapan negara hanya hadir setelah krisis terjadi?
"Tanpa tindakan proaktif dari pemerintah, demokrasi akan dimanfaatkan oleh yang kuat dan dimanipulasi oleh yang terdesak, sementara negara cuma jadi pemadam kebakaran, datang setelah api membesar," tutup Termul.
(Red/Vendetta)