Jasa Website Berita Online

Dilema Pedagang Kecil: Antara Relokasi dan Harapan Dagangan Laku?

author photo Senin, Juni 30, 2025



SHARE YA KAK!, Cilegon — “Kite meuh ore nolak kon pindah mah kang, cuman premen bakalane neng tempat baru kuen, ane seng jamin tuku ore? (Bukan kami menolak pindah Kang… Tapi siapa yang bisa jamin pembeli masih mau datang ke tempat baru?)”

Kalimat lirih itu keluar dari bibir Tejum (nama samaran) (43), pedagang sayur yang sudah lebih dari sembilan tahun membuka lapak di jalur keluar-masuk Pasar Kranggot, Cilegon. Sejak diumumkannya relokasi pedagang kaki lima ke Hanggar Barat—area khusus di sisi barat pasar yang disiapkan untuk menampung mereka, tejum mengaku gelisah. Bukan karena takut kehilangan tempat, tapi karena takut kehilangan pembeli.

Pemerintah Kota Cilegon tengah gencar menata kawasan pasar agar lebih tertib, mengurangi kemacetan, dan memulihkan fungsi ruang publik. Lebih dari 400 pedagang kaki lima direlokasi ke zona yang lebih terorganisir. Secara tata ruang, langkah ini tampak ideal. Namun di balik rapi dan bersihnya kawasan, ada suara-suara lirih yang mulai tenggelam: jeritan pedagang kecil yang bertaruh hidup dari dagangan yang hanya laku jika terlihat pembeli.

“Mung pindah neng hanggar, toli sape seng gelem melaku adoh-adoh kon tuku cabe cuman rong ons doank? (Kalau pindah ke hanggar, siapa yang mau jalan kaki jauh-jauh ke sana cuma beli cabai dua ons?)” tanya Tejum (nama samaran), getir.

Kondisi pasar memang sudah lama semrawut. Namun bagi para pedagang kecil, semrawut itulah ruang hidup. Posisi strategis di pinggir jalan—meski kadang membuat macet—adalah satu-satunya keunggulan yang mereka punya untuk bersaing dengan ritel besar, minimarket, dan platform daring yang makin agresif.

Hanggar Barat, yang kini menjadi lokasi relokasi, berada di sisi barat pasar dan bukan di bagian belakang sebagaimana sempat disangka. Area ini memang sudah disiapkan secara khusus untuk menampung sekitar 130 pedagang yang sebelumnya berjualan di bahu jalan. Dari sisi administratif, ini adalah langkah penataan. Tapi dari sudut pandang pedagang, lokasi itu dianggap kurang strategis karena jauh dari akses utama pembeli. Beberapa mengeluh bahwa pembeli enggan menelusuri lokasi baru yang tidak sepopuler jalur lama.

Meski begitu, pemerintah tetap memilih Hanggar Barat dengan pertimbangan mengurai kemacetan dan menata pasar lebih rapi. Fasilitas dasar telah disiapkan, dan pengaturan zonasi dilakukan agar para pedagang bisa berjualan dengan lebih tertib.

Namun realitas di lapangan tak selalu seindah peta rencana. Di tengah lesunya daya beli masyarakat, relokasi tanpa strategi pemulihan ekonomi terasa seperti melempar tanggung jawab ke pundak rakyat kecil.

Hal ini disorot oleh pakar tata kota independen, Ir. Termul Wowik. Ia menyebut pendekatan teknokratis semacam ini sebagai kebijakan yang kurang berpijak pada kenyataan mikro.

“Penataan ruang itu penting, iya. Tapi kalau hanya bicara tentang rapi dan tertib tanpa melihat arus ekonomi mikro rakyat kecil, itu artinya kita gagal merancang kebijakan dari bawah,” ujarnya.

Menurutnya, relokasi bukan sekadar memindahkan orang, melainkan memindahkan ekosistem ekonomi. “Pertanyaannya: apakah pemerintah sudah memindahkan pembelinya juga? Atau hanya pedagangnya?”

Ia menegaskan, relokasi harus disertai strategi stimulasi permintaan: insentif bagi pembeli, perbaikan akses, dan kampanye informasi bahwa pasar sudah berpindah dan layak dikunjungi. “Jangan hanya memindahkan pedagang ke hanggar, lalu membiarkan mereka berjuang sendiri,” katanya.

Sejumlah pedagang mengaku omzet mereka turun drastis pasca-pemindahan. Ada yang hanya laku satu-dua item seharian. “Modal saya habis buat sewa angkut barang ke hanggar, tapi pembeli enggak ada,” kata seorang pedagang yang enggan disebut namanya.

Relokasi bukan masalah. Tapi jika dilakukan tanpa empati terhadap ritme ekonomi rakyat kecil, penataan ini bisa berubah menjadi penyingkiran yang sistematis. Bukan hanya soal tempat, tapi soal hak hidup warga negara untuk mencari nafkah secara sah.

Mereka tidak meminta banyak. Tidak menuntut subsidi, tidak berharap insentif. Mereka hanya ingin berdagang. Menjual barang dengan harga terjangkau dan mendapatkan pembeli.

Yang mereka butuhkan bukan hanggar kosong, tapi langkah konkret agar pembeli ikut datang.

Dan yang paling penting: mereka ingin makan dari hasil kerja hari ini, bukan dari janji masa depan yang entah kapan datangnya.

(Red/Vendetta)

This Is The Newest Post
Previous article Previous Post

Advertisement

Jasa Pembuatan Website Berita Online

Advertisement

Jasa Pembuatan Website Berita Online