Jasa Website Berita Online

Kekayaan Alam Dikeruk, Dirusak, tapi Rakyat Tetap Miskin

author photo Jumat, Juni 06, 2025



SHARE YA KAK!, Jakarta — Aksi damai aktivis Greenpeace yang memprotes tambang nikel di Raja Ampat pada konferensi internasional kemarin berakhir dengan pengusiran paksa. Empat pemuda asal Papua Barat yang ikut dalam aksi itu hanya sempat membentangkan spanduk bertuliskan “Nickel Mines Destroy Lives” sebelum ditarik aparat keamanan keluar dari ruangan.

Aksi itu, meski singkat, menyentil kenyataan yang selama ini luput dari sorotan: bahwa di balik gegap gempita investasi tambang dan mineral kritis, masyarakat lokal justru semakin termarjinalkan.

Pulau Gag, Kawe, dan Manuran di Raja Ampat kini menghadapi gelombang izin tambang nikel yang merambah kawasan hutan tropis dan garis pantai. Padahal, wilayah ini adalah salah satu pusat keanekaragaman hayati laut dunia. Sedimentasi dari pembukaan lahan telah mencemari perairan dangkal, merusak habitat ikan, serta mengancam kehidupan nelayan adat yang bergantung pada laut.

Kondisi serupa terjadi di berbagai wilayah lain. Di Kalimantan Timur dan Selatan, pembalakan hutan dan penambangan batu bara meninggalkan lahan rusak, sungai keruh, dan masyarakat adat yang terusir dari tanahnya. Di Sulawesi Tengah dan Tenggara, tambang nikel meluas cepat, namun warga lokal hanya mendapat pekerjaan kasar dan akses terbatas terhadap infrastruktur.

Di Papua, tambang emas Freeport telah beroperasi selama lebih dari 50 tahun, tetapi angka kemiskinan di Kabupaten Mimika masih di atas 23 persen — jauh dari kata sejahtera.

“Ekonomi mungkin tumbuh di atas kertas, tapi di bawahnya rakyat tetap miskin. Pendapatan besar dari tambang hanya dinikmati segelintir elite,” ujar Ir. Mulyono, pengamat ekonomi sumber daya alam, Kamis (5/6/2025).

Menurut Mulyono, struktur ekonomi ekstraktif Indonesia terlalu bergantung pada eksploitasi sumber daya alam mentah. Hasilnya tidak mengalir ke bawah, melainkan tersedot ke pusat kekuasaan dan pemilik modal.

“Negara ini punya tambang emas, batu bara, nikel, bahkan hutan. Tapi rakyat masih berjuang mencari makan. Ini bukan soal kurangnya kekayaan, tapi soal siapa yang menikmatinya,” tegasnya.

Kritik juga datang dari pemerhati lingkungan, Ratna Ayuningtyas, yang menilai pemerintah cenderung lebih berpihak pada investor tambang ketimbang masyarakat terdampak.

“Setiap tahun ada janji pembangunan dari hasil tambang, tapi realitasnya, pendidikan dan layanan kesehatan di sekitar tambang justru paling tertinggal. Infrastruktur dibangun, tapi untuk akses logistik korporasi, bukan warga,” kata Ratna.

Ia juga menyoroti praktik kriminalisasi terhadap warga adat dan aktivis lingkungan yang menolak tambang. “Aksi Greenpeace kemarin jadi cerminan, bahwa suara penolakan tidak dikehendaki, bahkan di ruang-ruang dialog,” tambahnya.

Hingga pertengahan 2025, belum terlihat arah kebijakan yang menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama dalam tata kelola sumber daya alam. Sementara itu, tambang-tambang terus dikeruk, hutan ditebang, dan laut tercemar. Tapi rakyat — terutama di sekitar lokasi tambang — tetap hidup dalam kemiskinan.

(Red/Vendetta)

Next article Next Post
Previous article Previous Post

Advertisement

Jasa Pembuatan Website Berita Online

Advertisement

Jasa Pembuatan Website Berita Online