Jasa Website Berita Online

Ekonomi Indonesia Terjun Bebas, Perputaran Uang Nyaris Mandek!

author photo Selasa, Juli 01, 2025



SHARE YA KAK!, Jakarta — Perlambatan ekonomi Indonesia mulai merucut. Salah satu sinyal paling jelas datang dari data Bank Indonesia tentang uang beredar (M2), yang terus menurun sejak pertengahan 2024 hingga pertengahan 2025. Pada Mei 2025, pertumbuhan M2 hanya mencapai 4,9 persen secara tahunan (year-on-year), menjadi titik terendah dalam setahun terakhir.

Fenomena ini menunjukkan satu hal: aktivitas ekonomi nasional sedang melambat, daya beli masyarakat melemah, dan likuiditas di pasar keuangan makin ketat.

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Ramdan Denny Prakoso, menyatakan perlambatan M2 utamanya disebabkan oleh penyaluran kredit perbankan yang menurun dari 8,5 persen menjadi 8,1 persen. Di saat yang sama, Dana Pihak Ketiga (DPK) melambat dari 4,4 persen menjadi 3,9 persen, dan tagihan bersih kepada pemerintah pusat bahkan terkontraksi hingga 25,7 persen. Kombinasi tiga faktor ini menjadi penyebab utama melemahnya peredaran uang di Indonesia.

Sejumlah ekonom menilai kondisi ini tak bisa dianggap remeh. "Ekspansi kredit yang juga melambat lantaran iklim suku bunga masih belum menurun signifikan," kata Myrdal Gunarto, ekonom Maybank Indonesia. Ia menyebut bahwa meski Bank Indonesia belum mengerek suku bunga lebih tinggi, sentimen pasar dan ketatnya likuiditas membuat bank enggan menyalurkan kredit secara agresif.

Laju perlambatan ini juga terlihat dari data bulan ke bulan. Setelah sempat tumbuh 5,9 persen pada Januari 2025, angka itu turun ke 5,7 persen di Februari, dan hanya 4,9 persen pada Mei. Momentum Ramadan dan Lebaran yang biasanya mendorong konsumsi pun tak mampu membalikkan tren tersebut. Pertumbuhan sempat naik tipis ke 6,1 persen di Maret, tapi kembali turun pada April dan Mei.

"Perlambatan ini bukan hanya soal uang yang tidak berputar, tapi juga daya beli masyarakat yang melemah," ujar Josua Pardede, ekonom dari Permata Bank. Ia mencatat bahwa rasio konsumsi terhadap pendapatan turun dari 74,8 persen menjadi 74,3 persen, menandakan masyarakat mulai menahan belanja dan lebih memilih menabung atau membayar utang.

Kondisi tersebut juga tergambar jelas dalam perputaran uang selama periode Lebaran 2025. Menurut catatan Center of Reform on Economics (CoRE), perputaran uang selama Lebaran turun 12,28 persen dibanding tahun sebelumnya. Jumlah pemudik pun menurun drastis dari 193 juta orang pada 2024 menjadi hanya 146 juta orang di 2025—penurunan hampir 25 persen.

“THR yang biasanya mendorong konsumsi, tahun ini lebih banyak digunakan untuk menutup cicilan pinjaman atau ditabung,” ujar Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif CoRE. Ia juga menyoroti berkurangnya aktivitas masyarakat di pusat perbelanjaan maupun destinasi mudik, yang pada akhirnya menggerus ekonomi daerah.

Pelemahan ini juga terlihat dari sisi struktural. Menurut Piter Abdullah Rejalam dari Segara Research Institute, kondisi ini mencerminkan makin mahalnya likuiditas dalam sistem keuangan. "Harga uang naik karena ketatnya peredaran. Suku bunga kredit tinggi, investasi terbatas, dan ini membatasi perputaran uang secara sistemik," katanya.

Tak hanya itu, Piter juga menyinggung soal kebocoran sistem keuangan yang kian mengkhawatirkan. Ia menyebutkan bahwa praktik korupsi dan maraknya judi online berkontribusi pada tersedotnya uang ke sektor-sektor nonproduktif, sehingga uang yang seharusnya berputar dalam kegiatan ekonomi justru menghilang tanpa nilai tambah.

Bank Indonesia sendiri memproyeksikan ada peluang perbaikan tipis pada Juni 2025, seiring distribusi gaji ke-13 ASN dan program-program fiskal baru. Namun sebagian ekonom tetap bersikap hati-hati, menyebut tren ini bisa berlanjut jika tidak ada respons kebijakan yang lebih tegas.

"Ini bukan fluktuasi biasa. Ini adalah sinyal bahwa ekonomi sedang dalam tekanan, dan kita tidak bisa hanya mengandalkan momentum musiman," kata Awalil Rizky, ekonom dari Bright Institute. Ia menilai operasi keuangan pemerintah yang melandai juga menjadi faktor signifikan, mencerminkan menurunnya efektivitas belanja negara dalam mendorong pertumbuhan.

Sementara itu, Hosianna Evalita Situmorang dari Bank Danamon menilai bahwa perlambatan ini sebagian memang bersifat musiman dan dipengaruhi faktor global. Namun ia juga mengingatkan bahwa tekanan eksternal, seperti ketegangan geopolitik dan suku bunga tinggi di negara maju, turut mempersempit ruang gerak Indonesia dalam mendorong likuiditas.

Para ekonom menyarankan agar Bank Indonesia mulai mempertimbangkan pelonggaran kebijakan moneter, termasuk kemungkinan penurunan suku bunga acuan dan injeksi likuiditas ke sektor-sektor produktif. Di sisi lain, pemerintah juga didorong untuk mempercepat realisasi belanja fiskal yang berdampak langsung ke masyarakat.

"Tanpa intervensi serius, tren perlambatan ini bisa berlanjut, dan pada akhirnya akan membebani pertumbuhan ekonomi jangka menengah," ujar Josua.

Kini, Indonesia berada di titik krusial. Di satu sisi, stabilitas makro masih terjaga. Tapi di sisi lain, denyut aktivitas ekonomi riil melemah, konsumsi rumah tangga menurun, dan likuiditas kian ketat. Bila kondisi ini terus berlanjut tanpa respons yang terkoordinasi antara otoritas fiskal dan moneter, maka perlambatan bisa berubah menjadi stagnasi berkepanjangan.

(Red/Vendetta)

Next article Next Post
Previous article Previous Post

Advertisement

Jasa Pembuatan Website Berita Online

Advertisement

Jasa Pembuatan Website Berita Online